Home > Populer > Merdeka Belajar Episode 26: Tak Wajib Skripsi, Tak Wajib Jurnal Internasional

Merdeka Belajar Episode 26: Tak Wajib Skripsi, Tak Wajib Jurnal Internasional

Agenda: Merdeka Belajar Episode 26
Reporter: Tim Redaksi


JAKARTA, derapguru.com – Skripsi seringkali menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa. Tak jarang pula, skripsi justru menjadi pengganjal kelulusan seorang mahasiswa. Tapi itu dulu, dengan diluncurkannya Merdeka Belajar Episode 26, mahasiswa S1 atau D4 tidak lagi wajib dikenakan skripsi sebagai syarat kelulusan. Syaratnya, prodi mahasiswa bersangkutan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek maupun bentuk lain yang sejenis.

“Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam. Bisa berbentuk prototipe. Bisa berbentuk proyek. Bisa berbentuk lainnya. Tidak hanya skripsi atau disertasi. Bukan berarti tidak bisa tesis atau disertasi, tetapi keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi,” kata Nadiem dalam Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi, Selasa 29 Agustus 2023.

Aturan di atas tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Nadiem menjelaskan, seharusnya setiap kepala prodi punya kemerdekaan untuk menentukan bagaimana cara pihaknya mengukur standar capaian kelulusan mereka. Untuk itu, kini standar terkait capaian lulusan ini tidak dijabarkan secara rinci lagi di Standar Nasional Pendidikan tinggi.

“Perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi,” ucapnya.

Ia menuturkan, pada aturan sebelumnya, kompetensi sikap dan pengetahuan dijabarkan terpisah dan secara rinci. Untuk itu, mahasiswa sarjana dan sarjana terapan itu wajib membuat skripsi. Mahasiswa magister pun wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakreditasi. Sementara doktor wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.

“Tetapi di dunia sekarang, ada berbagai macam cara untuk menunjukkan kemampuan atau kompetensi lulusan kita. Bapak-bapak dan Ibu-ibu di sini sudah mengetahui bahwa ini mulai aneh, kebijakan ini, legacy (sebelumnya) ini. Karena ada berbagai macam program, prodi, yang mungkin cara kita menunjukkan kemampuan kompetensinya dengan cara lain,” imbuhnya.

Nadiem mencontohkan, kompetensi seseorang di bidang technical tidak lantas tepat diukur dengan penulisan karya ilmiah. Ia menjelaskan, Kemendikbudristek pun meresponsnya dengan perbaikan Standar Nasional Pendidikan Tinggi dengan sifat framework (kerangka). Harapannya, tiap prodi dapat lebih leluasa menentukan syarat kompetensi lulusan lewat skripsi ataupun bentuk lainnya.

“Dalam akademik juga sama. Misalnya kemampuan orang dalam konservasi lingkungan, apakah yang mau kita tes itu kemampuan mereka menulis atau skripsi secara scientific? Atau yang mau kita tes adalah kemampuan dia mengimplementasi project di lapangan? Ini harusnya bukan Kemendikbudristek yang menentukan,” katanya.

 

Perbedaan Standar Kompetensi Lulusan:

Aturan Baru

  • Kompetensi tidak dijabarkan secara rinci lagi
  • Perguruan tinggi bisa merumuskan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terintegrasi
  • Tugas akhir bisa berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk lainnya, tidak hanya skripsi, tesis, atau disertasi
  • Jika program studi sarjana atau sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau dalam bentuk sejenis, maka tugas akhir tidak lagi bersifat wajib
  • Mahasiswa program magister, magister terapan, doktor, maupun doktor terapan wajib diberi tugas akhir, tetapi tidak wajib terbit di jurnal

Aturan Lama

  • Rumusan kompetensi sikap, pengetahuan umum, dan keterampilan umum dijabarkan terpisah dan secara rinci
  • Mahasiswa sarjana atau sarjana terapan wajib membuat skripsi
  • Mahasiswa magister atau magister terapan wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakreditasi
  • Mahasiswa doktor atau doktor terapan wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.

(za)

You may also like
Sudah Hukum Alam, Perubahan Pasti Terjadi
DR MUHDI-WISUDA UPGRIS 74
Sistem Zonasi Gagal Karena Kita Main Data di Atas Meja
Guru Pensiun Usia 56 Tahun, Dulu Boyolali Sempat Mau Ikuti Purworejo
guru cantik
141 Guru Honorer Terdampak ‘Cleansing’ Telah Kembali Mengajar

Leave a Reply