Fitri Yulianti
Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa UNNES 2023 dan Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Semarang
RAMADHAN yang baru saja berlalu meninggalkan berjuta cerita. Ketentraman dalam menikmati detik detik rangkaian ibadah, berjibaku antara kewajiban sebagai makhluq dan pekerja, para ibu yang berkutat dengan penataan keuangan keluarga, menu sahur, dan berbuka, serta anak-anak yang sedang berlatih puasa sehari atau setengah hari dengan segala kegiatannya. Namun, ada yang terasa kurang dari kebiasaan anak-anak dalam mengisi bulan Ramadhan.
Keriuhan anak-anak yang mengerubuti imam sholat tarawih atau khotib sholat tarawih menjadi rutinitas yang akan dikenang oleh mereka yang mengalami masa kanak-kanak dan menjalani Ramadhan di tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an. Mereka akan berebut mengumpulkan Buku Kegiatan Bulan Ramadhan yang perlu mendapat tanda tangan dari iman masjid atau khotib kultum (kuliah tujuh menit) pada sholat tarawih malam ini. Ada yang mengisi buku tersebut sekedarnya saja. Kuliah tujuh menit hanya menghasilkan catatan sepanjang 3 kalimat saja: salam pembuka dari khotib, intinya kultum, dan salam penutup. Ada juga yang mengisinya sambil menahan kantuk sehingga tulisan tanggannya menjadi serupa “tulisan cakar ayam” karena tidak dapat terbaca jelas. Ledekan akan menghujani anak tersebut, namun tidak dalam rangka merundung, hanya meledek dan bercanda.
Tidak cukup hanya itu saja kegiatan yang mereka harus kerjakan. Berapa kali si anak mengerjakan sholat wajib dan sunnah, surat pendek apa yang dia baca atau hafalkan sehari ini, serta menuliskan amalan baik apa saja yang mereka lakukan seharian ini. Selanjutnya, anak-anak akan meminta tanda tangan orang tua sebagai bukti yang sah kalau kegiatan yang dikerjakan telah diketahui oleh orang tua.
Beberapa tahun belakangan ini kegiatan tersebut menghilang dari rutinitas Ramadhan yang dilakukan anak-anak. Dengan menghilangnya kegiatan rutin mengisi buku kegiatan bulan Ramadhan, berarti menghilang pula pembiasaan literasi dari usia dini melalui jalur keagamaan yang masuk dalam kategori literasi budaya dan kewarganegaraan. Mengapa bisa sebesar itu pengaruhnya?
Dalam sebuah buku sederhana bersampul “Buku Kegiatan Bulan Ramadhan”, terdapat banyak aktivitas yang didominasi dengan kemampuan literasi dasar berupa menulis yang didapat dari aktivitas menyimak (isi kuliah tujuh menit dari khotib), membaca (surat pendek dan terjemahannya), serta menghitung (berapa jumlah infaq yang sudah dikeluarkan). Ketiganya merupakan dasar dari literasi.
Hal ini sejalan dengan definisi dari literasi menurut Unesco. Menurut Unesco (2024), literasi saat ini bergerak melebihi konsep awalnya yang berupa kegiatan membaca, menulis, dan berhitung, namun lebih dipahami sebagai rangkaian proses mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, berkreasi, dan berkomunikasi dalam peningkatan penguaaan digital, teks, kekayaan informasi, dan perubahan dunia yang sangat cepat. Apabila konsep dasar literasi sebagai pembiasaan positif melalui kegiatan keagamaan dalam buku kegiatan bulan Ramadhan dihilangkan, maka dikhawatirkan anak-anak akan mengalami degradasi literasi.
Kekhawatiran ini mulai terbukti satu demi satu. Selama Ramadhan di banyak masjid, tidak banyak jamaah anak-anak yang terlihat untuk sholat jamaah Isya dan tarawih. Juga tidak banyak terdengar lantunan ayat-ayat Al Qur’an di masjid selepas sholat jamaah Isya’ dan Tarawih yang dibaca oleh anak-anak dengan suara khas mereka. Dua hal ini saja bisa menjadi bukti jika literasi menulis dan membaca semakin menghilang dari pembiasaan literasi selama bulan Ramadhan. Belum lagi kondisi di siang hari, seringkali terlihat anak-anak duduk bergerombol tapi tanpa suara karena mereka asyik dengan gawai masing-masing. Mereka terlanjur “mager” alias malas bergerak karena tidak ada kewajiban yang mereka dapat lakukan untuk mengisi bulan Ramadhan.
Teramat disayangkan kalau kondisi ini akan terus berlanjut di Ramadhan tahun-tahun mendatang. Degradasi literasi yang membayangi generasi muda di Indonesia secara umum bisa saja sulit dihindari bahkan dihilangkan. Generasi dengan tingkat daya juang yang rendah karena terbiasa dengan kondisi “mager”, bermental lembek sehingga banyak yang menyebutnya generasi “stroberi” di mana nampaknya baik dan menarik di luar namun cepat lembek dan membusuk saat menghadapi kondisi tertentu, pengetahuan yang rendah karena rendahnya minat membaca, serta rendahnya daya saing dalam mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan karena tingkat penyesuaian diri yang rendah di tempat kerja.
Hal-hal di atas serupa dengan yang disampaikan Rifa’i dalam Ashari (2024) bahwa ada banyak dampak negatif dari kurangnya minat baca, yaitu: membentuk generasi pemalas, kurangnya daya saing karena kurang pengetahuan, sulit bersosialisasi karena kurang wawasan, sulit mengembangkan potensi dalam diri karena sempitnya pengetahuan, dan kurangnya empati sosial karena terlalu sibuk dengan pemahaman akan diri sendiri.
Walaupun tidak semua sekolah mewajibkan para siswanya untuk mengisi buku kegiatan bulan Ramadhan, sebenarnya banyak toko dalam jaringan (online) yang menjual buku tersebut. Namun jika orang tua ataupun pihak sekolah ingin menyediakan buku tersebut, ada contoh buku kegiatan bulan Ramadhan yang dapat diunduh sendiri, sebagaimana yang disampaikan Nafisah (2024) dalam artikel yang ditulisnya. Desain buku yang penuh warna dan banyak ornamen kartun akan membuat siswa senang mengerjakan aktivitas-aktivitas yang ditulis di buku kegiatan bulan Ramadhan. Harapannya adalah mereka akan mengisinya dengan penuh kejujuran dan semangat.
Semoga di bulan Ramadhan tahun mendatang akan semakin menjamur sekolah-sekolah yang kembali mewajibkan para siswanya untuk mengisi buku kegiatan bulan Ramadhan, baik yang didesain sendiri oleh pihak sekolah sehingga sesuai dengan target capaian tertentu, misalnya selama bulan Ramadhan ini para siswa menjadi rutin shalat wajib di awal waktu, membaca surat pendek dan terjemahannya lalu menuliskan ulang terjemahan isi surat pendek, dan mampu menuliskan isi kultum sesuai yang seharusnya.
Pihak sekolah juga dapat menggunakan buku yang sudah ada di pasaran. Hal ini semoga akan sedikut demi sedikit menumbukan pembiasaan positif melalui kegiatan literasi budaya yang ditanamkan tanpa sadar ke dalam jiwa para siswa, sehingga degradasi literasi yang dikhawatirkan akan dapat sedikit teratasi. (za)