Banjarnegara, derapguru.com. Apem merupakan makanan tradisional khas di Jawa, yang rata-rata mengaitkan dengan tradisi lebaran dan maaf memaafkan. Hal itu sesuai dengan kata dasar apem yang lekat dengan bahasa arab affan atau afwan, yang berarti maaf. Di Banjarnegara sendiri, masyarakat Madukara terkenal sebagai produsen apem. Apem Madukara nama populernya. Apem Madukara memiliki ciri khas tersendiri yang terdapat pada bahan dasar yang digunakan yaitu gula aren. Gula aren dipilih karena memiliki rasa yang lebih manis dan aroma yang lebih kuat dari jenis gula lainnya. Selain bahan dasar yang menjadi ciri khas, cetakan atau wadah yang digunakan untuk tempat apem madukara juga khas, berupa daun pisang yang dibentuk menyerupai mangkuk kecil. Daun pisang pembungkus apem jika dikukus akan menghasilkan aroma tersendiri yang juga membuat rasa dari apem semakin lezat.
Lalu apa jadinya jika apem Madukara ditampilkan dalam sebuah tarian? Inilah yang dilakukan oleh Mahera Riska Gherini, kontingen dari Banjarnegara, pada Jambore Pemuda Jawa Tengah, Senin-Kamis (21-24/10/2024) pekan lalu, yang digelar di Hotel Surya Yudha, Banjarnegara.
Mahera yang juga guru seni tari SMPN 1 Sigaluh, Selasa (29/10/2024) mengungkapkan ingin mengangkat popularitas apem Madukara agar paling tidak sejajar dengan Dawet Ayu Banjarnegara yang sudah terkenal di seantero nusantara sebagai minuman tradisional.
“Tarian yang dibawakan berjudul Apem Madu. Tampilannya menunjukkan seorang gadis desa yang bahagia dan ceria, membawa wadah berisi apem di atas kepalanya dengan penuh rasa syukur. Karya tari ini berpijak pada gerak tari Banyumasan yang dikembangkan menjadi tari kreasi garapan baru. Kesan yang ingin ditampilkan adalah tarian yang cantik dan manis sebagaimana apem” ujar Mahera.
Tak hanya apem Madukara, kontingen asal Banjarnegara lainnya, Nofiko Azalea Inzaghi juga menampilkan tarian yang terinspirasi dari toponimi sejarah Batur dengan judul Rama Batur. Nofiko merujuk pada Jurnal Sutasoma karya Khotami Nursa’ah (2016), dimana dalam tariannya menggambarkan kekhawatiran Raja Kejawan yang mengetahui jika ada kerusuhan di Pegunungan Dieng. Sang raja yang merasa khawatir mengutus Ki Batur untuk mencegah dan menjadi pemimpin pasukan perang supaya prajurit Pesisir Lor Jawa tidak sampai pada wilayah kekuasaan Raja Kejawan. Akhirnya Ki Batur dan prajuritnya bertemu dengan prajurit pesisir lor jawa yang membuat kerusuhan tersebut. Kedua kubu akhirnya berperang dan berakhir dengan terluka dan meninggalnya Ki Batur beserta prajuritnya. Dari kejadian perang tersebut, maka wilayah meninggalnya Ki Batur dinamakan Batur.
“Karya tari ini berpijak pada gerak tari rancak dan gagahan, yang mengembangkan gerak tari gaya Banyumasan. Dari kisah Rama Batur kita ingin menampilkan aspek maskulinitas Rama Batur yang terinspirasi dari dua kata bahasa Sansekerta “Bramanty” yang berarti “ksatria perang”, sehingga kesan tarian ini gagah,”jelas Nofiko.