PEKANBARU, derapguru.com – Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau, M Job Kurniawan, mendukung aturan baru dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tentang penggunaan seragam bercorak pakaian adat saat hari dan acara tertentu.
Menurut Job Kurniawan, sebelum aturan Kemendikbud Ristek itu keluar, Riau sudah lebih dulu menerapkan menggunakan pakaian bercorak adat Melayu di hari dan acara tertentu.
“Kita di Riau sudah lama menerapkan penggunaan pakaian adat Melayu kepada siswa setiap hari Jumat,” kata Job Kurniawan, baru-baru ini.
Baca juga: Dr Muhdi: Jangan Paksakan Baju Adat Jadi Seragam Sekolah
Menurutnya, dengan adanya aturan tersebut Pemprov Riau tinggal merapikan kembali penggunaan pakaian adat bagi siswa SMA/SMK di Bumi Lancang Kuning.
“Karena pakaian adat tentu harus ada aturan-aturan adat, apakah harus pakai peci atau tidak itu yang harus dirapikan dan ditertibkan,” ujar Job Kurniawan.
Pemprov Riau lanjut Job mendukung kebijakan Kemendikbud tersebut, karena itu sebagai upaya untuk menerapkan dan melestarikan budaya di masing-masing daerah.
Sebelumnya, Pakar Pendidikan yang juga Ketua PGRI Jawa Tengah, Dr Muhdi, mengingatkan perlunya menimbang ulang pengunaan baju adat sebagai seragam rutin. Sebab tidak semua baju adat fleksibel untuk kegiatan sekolah sehingga lebih tepat bila digunakan untuk agenda-agenda tertentu saja, bukan untuk menjadi seragam yang dikenakan secara rutin.
“Saya termasuk orang yang mendukung berbagai bentuk pelestarian adat dan budaya, tapi jangan sampai bentuk pelestarian adat dan budaya itu campur aduk dengan semua hal. Termasuk dalam penggunaan seragam di sekolah. Bila ada yang memaksakan penggunaan baju adat tiap hari tertentu, tolong ditimbang ulang,” tutur Dr Muhdi saat dijumpai derapguru.com di Gedung PGRI Jawa Tengah, Kamis 13 Oktober 2022.
Baca Juga: Dear Guru, Ini Aturan Terbaru Seragam Sekolah
Dr Muhdi mengingatkan, bahwa setiap pengambilan kebijakan akan mengandung dampak. Termasuk bila sampai muncul kebijakan penggunaan baju adat sebagai seragam rutin harian atau bulanan. Dampak-dampak inilah yang perlu ditimbang, seperti bagaimana beban orang tua untuk menyediakan baju adat, kenyamanan anak saat sekolah menggunakan baju adat, atau dampak-dampak lainnya.
“Jangan tambah beban orang tua untuk sesuatu yang tidak prinsipil begini. Beban masyarakat sudah terlalu banyak. Belum lagi bagaimana nanti kenyamanan anak ketika bersekolah pakai baju adat. Tidak semua baju adat bisa membuat anak leluasa dalam bergerak dan beraktivitas. Pada akhirnya nanti muncul baju adat modifikasi, seperti kain jarit dimodifikasi menjadi celana panjang, malah merusak adat itu sendiri,” urai Dr Muhdi.
Lebih lanjut Dr Muhdi menuturkan, pemerintah harus mengingat pesan Ki Hajar Dewantara untuk menciptakan sekolah yang menumbuhkan kebahagian dan kegembiraan. “Mari ciptakan sekolah yang bahagia dan riang gembira,” pungkasnya. (za)