
Refleksi Dinamika PendidikanSebagaimana diketahui Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Muti saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI atau dalam kesempatan wawancara dengan para jurnalis telah menyampaikan visi kementerian yaitu menyediakan pendidikan bermutu untuk semua. Pernyataan tersebut memang telah sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Derap Guru, Ed. 299, Desember 2024).
Visi tersebut akan dapat terealisasikan tentunya membutuhkan kerjasama paralel dari berbagai pihak. Diseminasi dari visi tersebut perlu menjadi skala prioritas agar regulasi tersebut dipahami oleh semua pihak yang tidak menimbulkan mispersepsi. Bukan rahasia umum, berbagai regulasi yang pernah digulirkan, tingkat pemahaman pengambil kebijakan antara pusat dan daerah sering kontradiksi, sehingga yang dikorbankan pihak sekolah, termasuk guru maupun peserta didiknya.
Komponen pendukung
Pendidikan berkualitas untuk semua tentunya perlu memperhatikan berbagai komponen pendukung yang satu sama lain saling berkelindan. Apabila bicara terkait dengan mutu di era digital ini, kebutuhan infrastruktur atau sarana prasarana pendidikan perlu dipenuhi seperti media belajar dan bahan ajar.
Media pembelajaran merupakan alat atau sarana yang digunakan dalam proses pendidikan untuk membantu menyampaikan informasi dan memfasilitasi pembelajaran peserta didik. Media pembelajaran dapat berupa berbagai bentuk, baik itu benda fisik, seperti buku, alat peraga, atau model, maupun media digital, seperti video, animasi, presentasi multimedia, atau aplikasi interaktif (Gagne & Briggs, 1979)
Sedangkan bahan ajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didik. Bahan ajar ini dapat berupa media tulis atau cetak, seperti artikel, komik, dan infografis, maupun tidak tertulis atau noncetak, seperti audio dan video. Bahan ini dirancang sedemikian rupa untuk agar bisa menjadi alat bantu dalam pembelajaran terkait topik atau materi tertentu.
Namun, sampai saat ini masih banyak ketimpangan yang dirasakan. Salah satu ketimpangan terbesar dalam sistem pendidikan Indonesia adalah ketimpangan akses dan mutu pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Banyak sekolah di daerah terpencil atau 3 T (terdepan, terluar, dan tertinggal) kekurangan fasilitas dasar seperti ruang kelas yang memadai, buku-buku pelajaran, hingga akses untuk teknologi digital. Beberapa hal tersebut yang menyebabkan kesenjangan cukup signifikan dalam pendidikan yang diterima oleh peserta didik di berbagai daerah.
Fenomena itu juga menimpa sekolah swasta baik di perkotaan maupun daerah terpencil. Sampai saat ini bantuan infrastruktur dari pemerintah lebih dominan ke sekolah negeri. Dampaknya banyak sekolah swasta yang terengah-engah dalam menjalankan oprasionalnya. Padahal banyak peserta didik yang tidak mendapat kesempatan belajar di sekolah negeri larinya ke sekolah swasta.
Untuk itu, reformasi tata kelola pendidikan yang diharapkan dari pemerintah baru adalah kebijakan pendidikan inklusif, yang memastikan bahwa semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan setara baik mereka yang bersekolah di negeri atau swasta. Alternatif solusi yang dapat diambil di antaranya melalui peningkatan infrastruktur pendidikan di daerah 3 T. Pembangunan sekolah baru, penyediaan sarana belajar yang lebih baik, serta akses ke tekonologi sebagai prioritas utama baik untuk sekolah negeri dan swasta.
Selain itu peningkatan kualitas guru sebagai kunci utama perlu menjadi prioritas. Tidak dapat dipungkiri guru masih memegang kunci dalam keberhasilan pendidikan di Indonesia. Namun, sampai saat ini kualitas guru masih menjadi tantangan besar. Banyak guru di berbagai daerah yang belum mendapatkan pelatihan memadai untuk menghadapi elaborasi pendidikan di era digital.
Di samping itu, sistem rekrutmen dan distribusi guru seringkali tidak merata yang beimbas banyak daerah-daerah kekurangan guru. Lebih ironis lagi, banyak sekolah-sekolah swasta yang kehilangan guru karena banyak yang diterima menjadi guru ASN P3K. Lagi-lagi sekolah swasta ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Oleh karena itu kebijakan, dalam tata kelola pendidikan untuk peningkatan kualitas guru melalu pelatihan berkelanjutan dan pengembangan profesional perlu menjadi perhatian utama. Salah satu langkah kebijakan yang diturunkan dalam regulasi yaitu memastikan guru mendapatkan akses sama baik guru negeri maupun swasta untuk mendapatkan kesempatan tersebut baik di level nasional maupun internasional. Dengan demikian, para guru dapat meningkatkan kompetensinya yang pada gilirannya dapat mentransformasikan materi pembelajaran berkualitas kepada peserta didiknya.
Selanjutanya, regulasi pemerataan distribusi guru juga perlu menjadi perhatian. Pemerintah perlu memastikan tidak ada kekurangan guru-guru berkualitas di daerah, terutama daerah 3T yang selama ini masih kurang mendapat perhatian. Di samping itu, pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas, agar guru yang diterima ASN P3K yang berasal dari sekolah swasta dikembalikan ke sekolah asal agar pemerataan distribusi guru dan prinsip pendidikan berkeadilan dapat terbangun secara sinergis.
Refleksi diri
Dari dinamika perjalanan pendidikan di tahun 2024 ini, berbagai capaian yang sudah diupayakan pemerintah patut kita apresiasi. Terlebih lagi pemerintah akan membuat kebijakan mengurangi beban administrasi guru juga peningkatan kesejahteraannya. Kebijakan ini merupakan langkah awal untuk mengembalikan marwah atau kesejatian guru dan demi generasi masa depan bangsa yang diharapkan.
Perubahan sistem tersebut mensyaratkan komitmen semua pihak untuk mendukung agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan secara proporsional. Perubahan sistem tersebut tidak hanya sekadar mengembalikan substansi guru sebagai pendidik yang melakukan tugas berpusat pada peserta didik, tetapi juga perubahan sistem penilaian kinerja guru. Pemenuhan kewajiban mengajar 24 jam seminggu yang tidak harus mengajar di kelas, membutuhkan komitmen semua pihak, terutama pemerintah daerah.
Di samping itu, guru juga perlu melakukan refleksi diri, bahwa modal utama menjadi guru pada dasarnya tak lain adalah dalam dirinya tumbuh rasa bangga dan tidak minder apabila dikomparasikan dengan profesi lainnya. Namun perlu disadari kebanggan tersebut tidak hanya sekadar euforia, namun perlu diimplementasikan dengan aksi nyata baik dalam pola pikir maupun pola tindakannya. Tentunya guru sebagai pendidik perlu menyadari dan selalu membuka diri terhadap perubahan-perubahan tersebut agar dengan mudah dapat menyesuikan diri dengan dinamika zaman yang berubah begitu cepat.
Dengan membuka diri untuk terus berkembang, guru akan menjadi orang yang menguasai kompetensi dalam bidangnya. Implikasi kompetensi dapat dimaknai sebagai gambaran yang perlu diimplementasikan seorang guru dalam menjalankan pekerjaannya, baik berupa aktivitas, perilaku maupun resultansi kinerja yang dapat ditunjukkan dalam proses kinerja kesehariannya.
Pintu masuk agar peserta didik dapat merambah pada nilai-nilai humaniora tak lain, guru perlu melakukan refleksi dalam proses pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas. Refleksi dapat dipahami sebagai proses yang mengajak peserta didik untuk mengendapkan makna manusiawi tentang materi yang dipelajari dan kegunaannya bagi sesama. Dalam proses refleksi ini menuntut kapabilitas guru untuk menguasai mata pelajaran, lebih dari sekadar pengetahuan materi sesuai disiplin ilmunya. Di dalamnya dapat memantik daya ingat, pemahaman, imajinasi, dan intuisi yang digunakan untuk menangkap arti dan nilai-nilai yang dipelajari sampai gradasi kedalamannya.
Dengan mengaplikasikan kegiatan refleksi, paling tidak guru sudah menorehkan tugasnya dalam panggilan kemanusiaan, karena sudah menjadi pemantik jiwa-jiwa muda memiliki empati terhadap kondisi di lingkungannya.
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumnus ISI Yogyakarta dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta