Tidak bisa dipungkiri, sampai saat ini sebagian besar publik apabila mendengar istilah museum atau cagar budaya ibaratnya masuk lorong-lorong gelap dengan koleksi benda-benda misterius, sebagaimana kastil-kastil di Eropa yang menyeramkan. Asumsi publik tersebut, kiranya perlu diluruskan, agar tidak berkepanjangan dan terkooptasi pada persepsi keliru.
MUSEUM yang sebagaian besar menampati gedung cagar budaya sejatinya bukan sekadar tempat teronggoknya barang-barang tua. Benda-benda di dalamnya menyimpan nilai historis panjang perjalanan peradaban manusia. Sebelum menjadi koleksi museum, benda-benda tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek, seperti spiritual, sosial, dan kultural.
Untuk itu narasi ini perlu terus diperkuat agar eksistensinya tetap relevan dengan dinamika zaman. Narasi tersebut seyogianya dibuat lebih fleksibel namun komunikatif. Koleksi yang ada didalamnya perlu diperjelas, agar pengunjung tidak hanya sekadar melihat koleksi, namun perlu eksplanasi secara detail. Termasuk cagar budaya perlu diberi muatan narasi terkait dengan berbagai aspek, mulai dari latar belakang historis, pergumulan dengan dinamikanya, sampai eksistensinya pada saat ini.
Fungsi Kompleks
Dalam kurun waktu yang sangat lama, museum dan cagar budaya di Indonesia memang sudah ada. Namun masih sebatas sebagai tempat untuk kunjungan umum atau singgah sementara. Padahal sebenarnya museum memiliki fungsi kompleks yang berkorelasi erat dengan pelestarian dan pewarisan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, museum juga dianggap sebagai lembaga penyimpanan, pengamanan, perawatan dan pelestarian hasil karya, cipta dan karsa manusia yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai simbol identitas kehidupan masyarakat setempat (Sarkowi, 2020).
Sedangkan cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 ditegaskan bahwa warisan budaya yangt terdapat dalam cagar budaya meliputi warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya baik di daratan maupun perairan yang perlu dipreservasi eksistensinya karena memiliki nilai signifikan bagi ilmu pengetahuan.
Untuk memperkuat fungsi museum dan cagar budaya, Kementerian Pendidikan, kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mencanangkan Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB) yang disebut juga dengan nama Indonesian Heritage Agency (IHA) di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, pertengahan bulan Mei 2024. Visi mendasar yang dimiliki lembaga tersebut yaitu membangun transformasi pengelolaaan museum sebagai ruang belajar yang hidup untuk semua komunitas tanpa tebang pilih.
Di samping itu, BLM MCB dapat menjadi platform kolaborasi untuk mengoptimalkan potensi museum dan cagar budaya dengan melibatkan Kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah dan swasta. Tidak dapat dipungkiri di era digitalisasi ini, museum dan cagar budaya perlu dilihat dalam fungsi yang holistik baik dalam ranah pendidikan, sosial, bahkan manfaat ekonomi agar dapat eksis secara berkelanjutan.
Dengan pengelolaan yang lebih profesional dan visi yang berorientasi pada inklusivitas dan pembelajaran sepanjang hayat, BLU MCB bertujuan untuk meningkatkan daya tarik museum dan cagar budaya bagi masyarakat, baik lokal maupun internasional. Pembentukan BLU MCB merupakan langkah strategis yang diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam cara pengelolaan maupun pemanfaatannya. Melalui program-program inovatif dan kolaboratif, BLU MCB berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pelayanan, memperkaya konten edukatif, dan mengembangkan program-program yang mampu menarik minat generasi saat ini serta komunitas global.
Adapun langkah pertama untuk revitalisasi museum dan cagar budaya yang dikelola oleh BLU MCB atau yang dikenal dengan IHA adalah menekankan konsep reimajinasi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Konsep pilar reimajinasi tersebut meliputi, pertama, reprogramming. Pilar ini akan memprogram ulang koleksi dan kuratorial, mempertajam narasi besar dari setiap museum dan cagar budaya. Harapan besar yang ingin dicapai kisah-kisah yang diceritakan tidak hanya berakar dalam sejarah, tetapi juga relevan dengan konteks sosial dan budaya saat ini. Setiap museum akan menciptakan sebuah narasi yang berkelanjutan dan dinamis, menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Sekarang waktunya untuk memikirkan strategi mengomunikasikan dan memperkenalkan semua koleksi museum dan cagar budaya secara efektif kepada publik.
Kedua, penataan uang desain. Pilar reimajinasi ini akan menyasar pada bentuk perancangan ulang untuk memperkaya pengalaman pengunjung. Untuk itu pengemasan museum dan cagar budaya akan mengutamakan estetika, keselamatan, dan kenyamanan, serta penghormatan terhadap koleksi warisan budaya.Tidak ketinggalan pada pilar ini juga akan menaruh perhatian khusus menciptakan desain museum yang bukan hanya akrab dengan anak-anak tetapi bisa mengomunikasikan dengan baik.
Ketiga, reinvigorating. Pilar ini menekankan pada semangat baru ke dalam kapasitas lembaga, baik pada pengutan profesionalime kelembagaan maupun peningkatan kompetensi sumbet daya manusianya. Reimajinasi museum dan cagar budaya, akan melibatkan berbagai pihak dan pemangku kepentingan yang satu sama lain saling berkelindan (Mahendra, 2024).
Harapan besar dari konsep maupun implementasi reimajinasi ini tidak hanya bermakna dan bermanfaat untuk generasi pada saat ini, tetapi juga berkesinambungan untuk generasi berikutnya. Adapun skala prioritas juga akan menyasar pada keterlibatan komunitas, khusunya yang berdampingan dengan museum dan cagar budaya, sehingga masyarakat merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keberlangsungannya. Hal ini akan lakukan untuk memastikan keberlanjutan menjadi parameter sebagai skala prioritas.
Angin Segar
Peluncuran IHA diharapkan menjadi angin segar bagi nafas museum dan cagar budaya yang selama berjalan di ruang sunyi. Pengelolaan profesional dengan melibatkan berbagai pihak akan menjadikan program menjadi lebih komprehensif dan solid terutama terkait dengan komunikasi kepada publik.
Tidak dapat dipungkiri era saat ini, generasi milenial atau Z banyak menggunakan media sosial sebagai ajang komunikasi. Untuk itu museum dan cagar budaya perlu menyesuaikan dengan era saat ini. Di samping melaui media sosial, pemanfaatan situs internet juga harus dioptimalkan. Tampilannya dikemas kekinian dan informasi yang disajikan dilengkapi dengan berbagai panduan akan menjadikan museum dan cagar budaya diminati publik.
Hal itu akan menjadi program utama, karena disadari bahwa museum dan cagar budaya akan dapat memberikan pengalaman edukasi sehingga memperkaya wawasan hidup bagi masyarakat dari segala usia untuk merealisasikan komunitas kultural sebagai aset sumber daya budaya nasional.
Penulis:
Drs Ch Dwi Anugrah MPd
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang