JAKARTA, derapguru.com – Hal yang paling penting dalam era disrupsi adalah ketahanan sebuah negara. Pasalnya, selain tantangan disrupsi, diprediksi masih akan ada gangguan-gangguan lain yang belum terdeskripsikan akan datang dalam era yang masih tak menentu ini. Gangguan-gangguan inilah yang membutuhkan ketahanan sebuah negara.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Ekonomi Internasional dari Osnabruck University Jerman, Prof Peter Mayer, dalam Konferensi Internasional The Global Advanced Research Conference on Management and Business Studies (Garcombs) 2022 yang digelar Program Studi Doktor Ilmu Manajemen (DIM) FEB Unpad, akhir pekan lalu.
Kendati demikian, kompleksitas tantangan dan beragam disrupsi yang terjadi saat ini, justru menjadi peluang bagi Indonesia untuk membangkitkan industrinya. Prof Mayer memprediksi akan menjadi pemain baru dalam dunia industri bila mampu memanfaatkan aset berharga yang dimilikinya. Aset itu tidak lain adalah cadangan nikel terbesar di dunia.
“Ancaman krisis yang saat ini dihadapi dunia, justru menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk membangkitkan industri. Negara ini memiliki bahan baku mineral yang sangat dibutuhkan untuk mendukung transisi energi di masa depan,” tuturnya.
Saat ini dunia sedang dalam masa transisi peralihan energi, mengingat energi berbasis fosil seperti minyak bumi jumlah cadangannya terus menipis. Dampak lingkungan yang buruk akibat penggunaan bahan bakar fosil, juga menjadi alasan bagi penduduk dunia akan bergeser pada sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
“Baterai menjadi salah satu bahan yang dapat mentransisikan ketergantungan manusia pada minyak bumi atau energi berbahan dasar fosil. Bahan dasar pembuatan baterai adalah nikel. Dan Indonesia memiliki cadangan terbesar di dunia,” tandas Prof Mayer.
Kendati demikian, untuk mengoptimalkan peluang tersebut Indonesia harus berkolaborasi dengan berbagai perusahaan dari negara lain untuk melakukannya. “Saat ini banyak perusahaan di Jerman dan negara lainnya tengah mereorinetasi tujuan investasinya dari China. Indonesia perlu berkolaborasi untuk hal ini,” ujar Peter.
Peter mengatakan, di tengah kompleksitas gangguan saat ini, resiliensi merupakan karakteristik kunci yang butuhkan untuk ekonomi dan bisnis. Yakni, dimulai dari level individu, industri atau perusahaan, hingga masyarakat. Adapun dimensi dari resiliensi yang harus menjadi perhatian adalah situasi sosial dan ekonomi, geopolitik, dimensi hijau, dan dimensi digital.
“Kita harus memiliki masyarakat yang resiliens. Jika ekonomi dan sistem sosial fragile, maka kita tidak akan bisa bertahan ketika dihadapkan dengan gangguan ekonomi makro dan volatilitas. Maka tugas pertama adalah melihat instabilitas, risiko, serta kondisi sosial dan ekonomi,” paparnya. (za)