JAKARTA, derapguru.com – Pertumbuhan ekonomi akan percuma bila pertumbuhannya dibarengi dengan lonjakan inflasi yang tinggi. Artinya, sama saja seperti tidak ada pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut disampaikan Deputi Gubernur BI, P Joewono, dalam acara Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Sulawesi Selatan, Senin 24 Oktober 2022.
Joewono menuturkan, Indonesia menjadi salah satu negara yang mampu menjaga pertumbuhan ekonomi, ketika sejumlah negara lainnya mengalami kontraksi di tengah ketidakpastian global. Momentum pertumbuhan ini perlu dijaga dengan menjaga laju inflasi.
“Kita harus jaga momentum ini dengan menjaga inflasi. Percuma pertumbuhan ekonomi 5,4 persen kuartal II-2022 jika inflasi bisa lebih dari 10 persen, maka akan minus artinya, tidak ada growth (pertumbuhan),” ujar Doni.
Oleh karena itu, salah satu upaya pengendalian inflasi dilakukan BI dengan memutuskan kenaikan suku bunga acuan 50 basis poin menjadi 4,7 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Oktober 2022. Adapun kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 50 bps itu, melanjutkan kenaikan suku bunga pada Agustus 2022 yang sebesar 25 bps dan September 2022 sebesar 50 bps.
“Maka total suku bunga acuan BI sudah naik 125 bps di sepanjang tahun ini. Sementara untuk laju inflasi, pada September 2022 tercatat inflasi Indonesia mencapai 5,95 persen secara tahunan (year on year/yoy), naik dari inflasi pada Agustus 2022 yang sebesar 4,69 persen (yoy),” tandas Doni.
Di sisi lain, berbagai lembaga internasional memperkirakan inflasi Indonesia akan mencapai kisaran 6 persen-7 persen hingga akhir tahun 2022. Proyeksi ini cukup tinggi, mengingat dalam kurun waktu lima tahun terakhir pemerintah berhasil menjaga inflasi di 5 persen, bahkan 3 persen.
“(Kenaikan suku bunga) ini kami sebut front loading, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang 7 persen. Orang anggap inflasi akan naik, itu ekseptasi, jadi kami coba overshooting untuk inflasi kami turunkan,” paparnya. (kmp/za)