Agenda: Jambore Bhakti Guru Reporter: Tim Redaksi
BANJARNEGARA, derapguru.com – Ketua Yayasan Sulistiyo, Syamsudin SPd MPd, nyaris tidak bisa berkata-kata setiap kali Jambore Bhakti Guru diselenggarakan. Bukan hanya terharu, tapi dia juga teringat sosok Sulistiyo yang telah dia kenali sejak masih berusia kanak-kanak.
Syamsudin menjadi guru pertama kali pada tahun 1974, di SD Negeri Kalitengah, desa kelahiran Sulistiyo. Saat itu Sulistiyo sudah bersekolah di SMP Negeri Mandiraja. Tiap hari dia berpapasan dengan Sulistiyo kecil yang menyapanya dengan kalimat sangat aneh.
“Setiap kali berpapasan di Bukit Sugeng, Pak Sulis kecil selalu mengucapkan: Selamat siang, Pak Guru. Se-gasik apapun saya berangkat, dia selalu mengatakan: selamat siang,” tutur Syamsudin saat membagikan kenangan pada sesi Gala Evening Teacher dalam agenda ‘Jambore Bhakti Guru’ di Kompleks Pemakaman Dr Sulistiyo Kabupaten Banjarnegara, Sabtu malam, 30 September 2023.
Bertahun-tahun sapaan aneh ‘selamat siang’ itu terus terngiang dalam pikiran Syamsudin. Sampai-sampai ketika dirinya bertemu lagi saat Sulitiyo sudah dewasa, dan Sulistiyo sudah pula menjadi tokoh hebat, Syamsudin menanyakan perihal sapaan itu.
“Tapi ketika saya tanyakan, Sulistiyo tidak mau menjawab. Dia hanya menyambutnya dengan tawa lepas,” tutur Syamsudin.
Syamsudin menuturkan, Kalitengah pada saat itu keadaannya sangat berbeda dengan saat ini. Butuh perjuangan keras bagi anak-anak desa ini untuk bisa menjangkau sekolah lanjutan di kota. Mereka harus berjalan jauh untuk menjangkau sekolah, termasuk juga dengan sosok Sulistiyo.
“Hanya ada satu hal, kenapa di Banjarnegara lahir sosok Sulistiyo yang mampu menembus ruang dan waktu, menjadi tokoh nasional, mampu menebus batas negara? Ini tidak lepas dari sejarah Banjarnegara sebagai negeri perjuangan,” tutur Syamsudin.
Syamsudin menceritakan, bahwa spirit yang diusung Sulistiyo tidak lepas dari spirit tanah kelahirannya sebagai tanah para pejuang Diponegoro bermukim pascaperang. Ketika Diponegoro ditangkap melalui perjanjian tipuan, pasukan Diponegoro banyak yang tidak mau kembali ke keraton.
“Prajurit-prajurit Diponegoro yang tidak mau kembali ke keraton, memilih mengembara ke Barat. Mereka tinggal di Banjarnegara. Terus melakukan perjuangan sambil mengajarkan agama. Maka di sini dulu banyak langgar (musala, red) berdiri. Spirit para pejuang ini pula yang ada dalam diri Sulistiyo,” tandas Syamsudin. (za/wis)