SEMARANG, derapguru.com – Penanaman pendidikan karakter pada peserta didik harus melihat generasi yang diberikan pendidikan karakter itu hidup pada era apa. Dengan cara beginilah, pendidikan karakter akan dapat ditanamkan secara tepat pada peserta didik.
Hal tersebut disampaikan oleh jurnalis senior dan juga sastrawan nasional, Triyanto Triwikromo, saat mengisi webinar “Transformasi Pendidik untuk Indonesia Maju” yang digelar PGRI Cabang Khusus Universitas PGRI Semarang, Jumat 9 Desember 2022.
“Kita hidup pada era apa? Kita ini hidup pada era phygital. Yakni, yang fisik dan digital itu saling jalin-menjalin,” tutur Triyanto.
Baca Juga: Prof Rudy: Hiperealitas Tantangan Era Digital
Era phygital, lanjut Triyanto, membuat manusia mendapatkan pengalaman fisik dan digital dalam satu gebrakan. Era ini juga menghasilkan gaya hidup yang disebut phygital lifestyle. Untuk memberikan pendidikan karakter pada generasi seperti ini, dibutuhkan cara penanaman karakter yang sesuai dengan lifestyle mereka.
“Orang bergaya hidup phygital akan menerima pendidikan karakter, misalnya, dari budaya layar (screen culture) dan budaya realitas secara sekaligus,” tutur Triyanto.
Lebih lanjut Triyanto menuturkan, tantangan untuk menangani generasi muda yang besar dalam tradisi phygital ini tidak hanya dialami oleh negara-negara berkembang atau terbelakang saja. Negara-negara maju juga mengalami hal serupa karena generasi pendidiknya sama-sama menghadapi generasi yang hidup dengan cara berbeda.
“Pengalaman saya mengajar di beberapa universitas di Jerman, mereka juga menghadapi satu persoalan yang sama. Karena mereka juga mendapatkan apapun dari dua tubuh dunia, yakni dunia maya dan dunia nyata,” tutur Triyanto.
Selain itu, Triyanto juga menambahkan, manusia saat ini sedang berada pula dalam era the net & the next. Hidup dalam dunia internet dan “ke-akan-an”. Nilai yang masuk dalam ceruk hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari dunia internet dan dunia masa depan. Maka karakter-karakter manusia pun akan dipengaruhi oleh dunia internet.
“Kita sudah hidup sebagai post-humans; melampaui manusia. Ketika kita sedang berhadapan dengan layar, kita sudah bukan lagi humans, melainkan sebagai post-humans. Ketika saya bicara seperti ini, wartawan yang ada di depan saya, akan menganggap saya sebagai human. Tapi Anda yang melihat saya di dalam layar, tidak bisa lagi menyebut saya humans. Saya adalah post-humans bagi Anda,” tutur Triyanto.
Perubahan peradaban seperti inilah yang harus benar-benar diantisipasi oleh para pendidik di masa mendatang. Mau tidak mau para pendidik memang harus bertranformasi mengikuti perubahan. Bila tidak segera bertransformasi, bisa berbahaya bagi kelangsungan dunia pendidikan.
“Ke depan apakah mungkin anak-anak kita akan belajar dengan berbagai macam perubahan teknologi? Bersekolah melalui dunia virtual seperti metaverse, misalnya? Tentu saja mungkin. Ini yang harus diantisipasi dan segera ditangkap oleh dunia pendidikan,” tandas Triyanto. (za)