
SEMARANG, derapguru.com — Pengurus PSLCC PGRI Jawa Tengah yang juga Guru SMAN 1 Salatiga, Dr Katarina Herwanti MPd, menyampaikan ada tiga hal yang perlu dikoreksi dalam pendidikan Indonesia. Tiga hal tersebut disampaikan Katarina pada derapguru.com saat memintanya memberikan refleksi pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
“Kini saatnya meluruskan arah. Ada lima hal yang perlu kita koreksi dalam dunia pendidikan kita,” urai Katarina.
Pertama, tambah Katarina, perubahan Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum dengan pendekatan Deep Learning patut diapresiasi sebagai upaya memperdalam kualitas belajar. Namun, kejutannya terlalu mendadak, terlalu masif, dan terkesan mengganti narasi tanpa cukup waktu untuk konsolidasi akar rumput.
“Apakah kita telah mengkaji kesiapan guru secara menyeluruh? Sudahkah transformasi ini melibatkan suara sekolah di daerah tertinggal?” tanya Katarina penuh selidik.
Hal kedua, penutupan Program Sekolah Penggerak menimbulkan paradoks. Program ini menurut Katarina adalah investasi jangka panjang yang mulai menunjukkan hasil; praktik baik, komunitas belajar, dan budaya refleksi di sekolah.
“Menutupnya sebelum panen adalah langkah tergesa yang mencederai konsistensi reformasi”, ujar Katarina mengkritisi kebijakan Kemendikdasmen dalam pemerintahan baru saat ini.
Ketiga, isu digitalisasi pendidikan harus ditinjau ulang. Menurut peraih Juara 1 Guru Berprestasi Kota Salatiga Tahun 2012 ini, terlalu cepat beralih ke teknologi tanpa infrastruktur yang merata, karena ini justru memperlebar kesenjangan. Dikatakan, Literasi digital tidak bisa diandaikan setara bagi semua murid dan guru.
“Transformasi digital harus berpihak pada inklusivitas, bukan hanya pada mereka yang punya akses”, jelasnya.
Pendidikan Bermutu Bagi Semua
Diminta pendapat tentang komponen mutu yang harus diwujudkan dalam visi pendidikan bermutu bagi semua, dan bagaimana seharusnya guru-guru berperan mewujudkannya?
Dikatakan oleh Katarina, Komponen Mutu, lebih dari Sekadar Skor Akademik.
Menurutnya, pendidikan bermutu tidak hanya diukur dari skor numerik. Ia mesti menjangkau banyak dimensi. Pertama, Kualitas Guru. Guru bukan sekadar kompeten, tetapi terus bertumbuh dalam komunitas belajar professional; Kedua, Kepemimpinan Sekolah. Tugas dan tanggung jawab pemimpin sekolah bukan hanya administratif, tetapi harus mampu menggerakkan budaya belajar. Ketiga, Kurikulum Kontekstual. Ini yang menghubungkan ilmu dengan dunia nyata, termasuk krisis iklim dan isu global. Keempat, Lingkungan Belajar Inklusif dan Aman, terutama bagi kelompok rentan. Kelima, Partisipasi Keluarga dan Komunitas: Diingatkan, bahwa pendidikan bukan urusan sekolah saja.
“Keluarga dan komunitas masyarakat juga harus peduli dan berpartisipasi aktif demi suksesnya pendidikan bagi anak-anak”, ujarnya.
Guru yang pernah mengajar di Moskow, Rusia Tahun 2016-2017 ini mengingatkan, bahwa yang menjadi pusat bagi semuanya adalah pusatnya adalah peran guru. Guru bukan pengikut kebijakan pasif, tapi pelaku perubahan.
“Guru adalah penjaga asa, pelaku inovasi, dan penghubung antara kebijakan dan kenyataan kelas. Dalam menghadapi kurikulum baru atau teknologi baru, guru perlu dilibatkan sejak perencanaan. Suara mereka layak didengar, bukan hanya diperintah”, kata peraih Bronze Medal ISPO Tahun 2021 ini.
Semua pihak menganggap pendidikan itu penting, tetapi persoalan pendidikan hampir tak pernah terselesakan dengan baik. Akibatnya, dari berbagai survey mutu pendidikan kita selalu lebih rendah dari negara-negara lain di Asia, bahkan juga Asean.
Dengan kondisi pendidikan saat ini, apakah anda yakin Indonesia Emas 2045 akan terwujud? Menjawab pertanyaan ini, guru yang pernah jadi Pembimbing OPSI dan mendapat Gold Medal Tahun 2019 Tingkat Nasional dan Silver Medal Ajang Lomba tingkat internasional YIC Malaysia Tahun 2020 ini mengaku yakin, tetapi bukan tanpa catatan.
“Optimisme saya bertumpu pada dedikasi guru di seluruh negeri, pada anak-anak kita yang cerdas dan resilien, dan pada komunitas pendidikan yang terus belajar. Namun, kritis saya mengingatkan: kita tidak bisa melangkah ke 2045 dengan kebijakan tambal-sulam, program instan, dan gonta-ganti visi”, ujar Katarina mengungkapkan catatannya.
Menurut pengurus PGRI Provinsi Jawa Tengah ini, kita perlu konsistensi kebijakan lintas rezim, sistem pendampingan berbasis data, dan komitmen anggaran yang berpihak pada mutu, bukan hanya pada simbol perubahan.
Mengakhiri perbincangannya, guru yang juga aktif dalam beberapa organisasi ini mengingatkan, bahwa Hardiknas 2025 bukan sekadar perayaan, tapi ajakan refleksi. Mari koreksi arah kebijakan, mari kuatkan posisi guru sebagai garda terdepan, dan mari pastikan bahwa transformasi pendidikan menuju Indonesia Emas 2045 bukan mimpi kosong, melainkan visi yang dirancang bersama, dikerjakan bersama, dan dijaga dengan integritas.
“Karena pendidikan bukan proyek lima tahun, tapi investasi lintas generasi”, ujar Katarina. (pur)