
Jakarta, derapguru.com. Setiap tanggal 2 Mei, Bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), sebuah momen penting untuk menghormati jasa dan perjuangan tokoh besar pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Lebih dari itu, peringatan hari pendidikan nasional hendaknya juga menjadi momentum untuk melakukan evaluasi dan introspeksi, sejauh mana keberhasilan kinerja dunia pendidikan, apa saja kekurangan yang harus diperbaiki, kearah mana pendidikan akan dibawa, dan bagaimana mencapai tujuan pendidikan untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Keberhasilan pendidikan dipengaruhi banyak faktor, tetapi terlaksananya program pendidikan tak lepas dari ketersediaan anggaran pendidikan yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, yakni sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD serta efektivitas dan ketepatan sasaran penggunaannya. Pada APBN 2024 anggaran pendidikan negara kita sebesar Rp 665 triliun, dan pada APBN 2025 meningkat menjadi Rp 724,3 triliun. Bagaimana anggaran yang besar ini mampu mendukung terlaksananya program-program pendidikan?

Untuk menggali persoalan anggaran pendidikan tersebut Reporter derapguru.com Purwanto telah mewawancari DR. Sumardiansyah Perdana Kusuma, Wakil Sekretaris Jenderal PB PGRI, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, dan Direktur Pusat Studi Pendidikan Publik. Berikut petikan wawancaranya ;
Apa saja problem pendidikan yang berkaitan dengan anggaran selama ini?
Dalam beberapa tahun terakhir ramai diperbincangkan tentang besarnya biaya pendidikan bagi mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri. Meski kenaikan uang kuliah tunggal akhirnya dibatalkan, tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi masih dihadapi dan dikeluhkan orangtua serta berpotensi membuat para calon mahasiswa mengundurkan diri karena tak sanggup membayar. Di jenjang pendidikan yang lebih rendah, di kalangan guru, antrean guru dalam jabatan yang belum mendapatkan sertifikat pendidik masih terjadi. Mereka yang sudah tersertifikasi pun banyak yang mengeluhkan telatnya pencairan tunjangan profesi guru (TPG). Guru (honorer dan swasta) masih banyak yang berpenghasilan di bawah minimum, jauh dari sejahtera.
Berikutnya, formasi guru pada rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK) atau calon pegawai negeri sipil (CPNS) sering kali tidak terisi optimal karena daerah masih khawatir soal penggajiannya. Dari sisi infrastruktur, bangunan sekolah yang terbengkalai, dengan sarana prasarana pembelajaran minim, masih banyak kita temui.
Bagaimana komitmen pemerintah mewujudkan anggaran 20 persen dari APBN dan APBD untuk pendidikan?
Komitmen pemerintah atas pemajuan dunia pendidikan dapat dilihat dari kebijakan politik yang dihasilkan, yaitu melalui perundang-undangan.
Pada Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya, Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan agar negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pengalokasian anggaran pendidikan juga diamanatkan dalam Pasal 49 Ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yaitu dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD. Namun, ketentuan minimal 20 persen anggaran pendidikan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional menimbulkan dilema pascapembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-V/2007 yang menguji Pasal 49 (1) UU Sisdiknas dan UU No 18/2006 tentang APBN 2007 terhadap UUD 1945, yang menyebutkan bahwa minimal 20 persen anggaran pendidikan itu sudah termasuk untuk gaji pendidik.
Apa implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut?
Kekhawatiran yang muncul, beban anggaran akan cenderung berat ke pembayaran gaji dan mengabaikan pemenuhan kebutuhan pendidikan lainnya. Kebutuhan pendidikan lainnya dimaksud meliputi pembangunan gedung sekolah, revitalisasi fasilitas pembelajaran (ruang kelas, lapangan olahraga, perpustakaan, laboratorium, kantin, tempat ibadah, jaringan internet), bantuan pembiayaan pendidikan (sekolah gratis, subsidi, beasiswa), penyediaan keperluan pendidikan (buku pelajaran, seragam sekolah, alat tulis, laptop, sarapan gratis), serta peningkatan profesionalisme guru (diklat/pelatihan, pendidikan profesi, uji kompetensi, pembayaran sertifikasi).
Walaupun pemerintah di jajaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Agama sudah berusaha menyusun pos pendanaan wajib dan pendanaan prioritas berdasarkan skala kebutuhan yang ada, tetap saja antara ketersediaan anggaran dan pemenuhan kebutuhan belum berbanding lurus dan masih jauh dari kata ideal.
Minimal 20 persen anggaran seharusnya digunakan untuk keperluan operasional pendidikan, dalam konteks menyasar langsung pemenuhan kebutuhan persekolahan, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak- kanak (TK), SD, SMP, hingga SMA/SMK.
Itulah mengapa penafsiran atas Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 sebagaimana dituangkan dalam Pasal 49 (1) UU Sisdiknas secara realitas mengandung pesan, minimal 20 persen anggaran pendidikan yang dialokasikan oleh negara tidak termasuk dengan gaji pendidik.
Bagaimana alokasi anggaran pendidikan tahun 2024 dan realisasinya?
Berdasarkan Peraturan Presiden No 76/2023 tentang Rincian APBN 2024, alokasi anggaran pendidikan untuk 2024 adalah sebesar Rp 665 triliun.
Namun, pada rapat kerja DPR-Kemendikbudristek, 21 Mei 2024, diperoleh rincian, dari jumlah itu, Kemendikbudristek hanya mengelola Rp 98,9 triliun (15 persen). Sisanya dibagi ke Kementerian Agama Rp 62,305 triliun (9 persen), kementerian/lembaga (K/L) lain Rp 32,859 triliun (5 persen), pengeluaran pembiayaan (termasuk dana abadi) Rp 77 triliun (12 persen), anggaran pendidikan pada belanja non-K/L Rp 47,313 triliun (7 persen), dan terbesar Rp 356,5 triliun (52 persen) untuk transfer ke daerah dan dana desa.
Di sinilah letak persoalannya. Anggaran minimal 20 persen untuk pendidikan tidak benar-benar dianggarkan dan dikelola secara optimal untuk pendidikan, sebab harus berbagi dengan yang lain. Frase pendidikan justru diterjemahkan secara makro, bukan sebatas persekolahan di jenjang usia dini, dasar, dan menengah yang menjadi sasaran program wajib belajar, serta acap kali menjadi sorotan masyarakat untuk menilai mutu pendidikan nasional, terutama dilihat dari capaian lulusannya.
Adakah Kementrian atau Lembaga lain yang juga Mendapat Anggaran dari Anggaran Pendidikan?
Faktanya, ada 22 K/L yang mendapat kucuran anggaran pendidikan setara Rp 32,859 triliun. K/L itu meliputi Kementerian Sosial (Rp 12,023 miliar), Kementerian PUPR (Rp 3,367 miliar), Kementerian Keuangan (Rp 3,244 miliar), Kementerian Pertahanan (Rp 2,888 miliar), Kementerian Perhubungan (Rp 2,404 miliar), Kementerian Kesehatan (Rp 2,302 miliar), Kementerian Ketenagakerjaan (Rp 1,195 miliar), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Rp 1,064 miliar).
Selain itu, Kementerian Perindustrian (Rp 959 juta), Kepolisian Negara RI (Rp 500 juta), Badan Intelijen Negara (Rp 500 juta), Kejaksaan RI (Rp 500 juta), Perpustakaan Nasional (Rp 463 miliar), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Rp 435 juta), Kementerian Pertanian (Rp 257 juta), Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rp 192 juta), Kementerian Komunikasi dan Informatika/Kominfo (Rp 145 juta), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Rp 126 juta), Kementerian ESDM (Rp 120 juta), Kementerian Koperasi dan UKM (Rp 117 juta), BRIN (Rp 500 juta), Kementerian Perdagangan (Rp 15 juta).
Anggaran minimal 20 persen untuk pendidikan tidak benar-benar dianggarkan dan dikelola secara optimal untuk pendidikan, sebab harus berbagi dengan yang lain.
Belum lagi pembiayaan untuk lembaga pendidikan dan diklat, serta sekolah-sekolah kedinasan di bawah naungan K/L, yang sudah pasti mengambil dari pos anggaran pendidikan yang ada.
Mengapa Sektor Pendidikan Harus Berbagi dengan Sektor Lain?
Secara kritis kita bisa mempertanyakan begitu, mengapa sektor pendidikan harus berbagi dengan sektor lain? Bukankah sektor lain sudah memiliki anggaran masing-masing? Mengapa tak dipakai logika terbalik, berupa refocusing program anggaran, di mana K/L lain justru harus menyusun ulang program yang selama ini berjalan dan mengarahkannya agar sebisa mungkin memiliki relevansi dengan peningkatan mutu pendidikan? Lalu mengalokasikan, membagi, dan memfokuskan sebagian anggarannya untuk membantu sektor pendidikan.
Misalnya, sekian persen anggaran Kementerian PUPR harus dialokasikan untuk membangun gedung sekolah dan perumahan bagi guru. Atau, Kementerian Sosial harus menyalurkan beasiswa pendidikan dan Program Keluarga Harapan bagi warga sekolah yang tak mampu, Kementerian Kominfo memperluas jaringan internet di sekolah, Kementerian Koperasi dan UKM memberikan bantuan untuk koperasi dan kantin di sekolah, Perpustakaan Nasional mengirim koleksi buku untuk mendukung literasi sekolah, BRIN melatih anak sekolah agar memiliki skill riset, dan sebagainya.
Khusus Kementerian Agama, perlu ada koordinasi dan komitmen bersama antara Kemendikbudristek (Kini, dalam Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dipisah menjadi 3 Kementrian) agar penggunaan anggaran pendidikan tak tumpang tindih sehingga bisa sama-sama menopang upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Antara pendidikan umum dan pendidikan agama harus seiring dan sejalan.
Apa yang harus dilakukan agar penggunaan anggaran pendidikan yang jumlahnya cukup besar itu dapat berjalan dengan baik?
Apabila politik sudah memberikan ruang keberpihakan dan Konstitusi telah mengamanatkan kepada negara dalam hal politik anggaran pendidikan, yang perlu dilakukan sekarang adalah memastikan dan mengevaluasi agar di tataran implementasi semua berjalan dengan baik sambil terus melakukan perbaikan atas kekurangan yang ada.
Pemerintah pusat harus melakukan monitor, khususnya terhadap APBD yang disusun dan melihat sejauh mana amanat Konstitusi minimal 20 persen anggaran untuk pendidikan sudah dijalankan oleh pemerintah daerah. Selain itu, perlu kajian komprehensif yang bisa memberikan data empiris untuk mengukur sejauh mana anggaran pendidikan minimal 20 persen berdampak pada mutu pendidikan di suatu daerah.
Harapan dari optimalisasi 20 persen anggaran pendidikan di APBN/APBD adalah, pertama, terselenggaranya pendidikan secara tuntas, berkualitas, dan menjangkau semua kalangan. Kedua, membuka peluang perluasan wajib belajar menjadi 13 tahun dengan menambah satu tahun di jenjang PAUD formal (TK). Bahkan tak menutup kemungkinan, suatu saat nanti bisa saja pendidikan tinggi menjadi bagian dari wajib belajar dan pemerintah mengambil tanggung jawab untuk membiayainya. Ketiga, guru menjadi sejahtera dan profesional karena mendapatkan penghasilan di atas minimum, berupa gaji, dengan tambahan penghasilan pegawai (TPP) melalui APBD dan TPG melalui APBN, yang dirangkaikan dengan berbagai kegiatan peningkatan kompetensi guru. Keempat, gedung-gedung sekolah akan dibangun dan diperbarui, lengkap dengan pemenuhan sarana prasarana untuk menunjang proses pembelajaran.
Apa Relevansi Anggaran Pendidikan Jika Dikaitkan Dengan Pembangunan SDM Unggul Menuju Indonesia Emas 2045
Operasionalisasi dari sistem pendidikan nasional yang mengarah pada pembangunan SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045 membutuhkan dukungan anggaran. Hal ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat maupun daerah untuk memenuhinya.
Kami teringat pesan Ketua MK Prof Dr Jimly Asshiddiqie yang disampaikan di ruang sidang MK, 20 Februari 2008.
”Ketentuan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen mulai sekarang harus dilaksanakan, mulai dari APBN, APBD provinsi, maupun APBD kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kalau sekiranya masih ada APBN atau APBD yang kurang dari 20 persen mulai dari putusan sekarang, dan eksekutif maupun legislatif tidak melaksanakan amanat UUD 1945, MK tak punya alasan lagi kalau suatu hari membatalkan sama sekali APBN tersebut. Dua puluh persen adalah sekurang-kurangnya, boleh 30 persen dan boleh 40 persen, tergantung perkembangan kemampuan kita. Tapi jangan kurang dari perjanjian dalam UUD, yaitu 20 persen.”
Karena itu, apabila pemerintah meyakini pendidikan sebagai investasi dan bidang strategis yang perlu mendapat perhatian penuh, Presiden bersama DPR dengan dukungan dari kepala daerah dan DPRD harus mau mengalokasikan anggaran 20 persen, bahkan lebih untuk pembiayaan pendidikan. Juga berani mencanangkan pendidikan sebagai poros pembangunan nasional, di mana semua program dan anggaran K/L pada APBN, serta program dan anggaran Organisasi Perangkat Daerah pada APBD disinergikan untuk mendukung kemajuan sektor pendidikan.
Inilah politik anggaran pendidikan yang semestinya dijalankan, sebagai bentuk keberpihakan politik dan komitmen konstitusional dari pemerintah dalam menjalankan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. (pur)