JAKARTA, derapguru.com – Ada banyak tantangan guru yang harus dituntaskan di masa depan. Tapi tantangan utama para guru saat ini adalah kepastian masa depan profesi. Ketika nasib generasi emas bangsa sedang dipertaruhkan di tangan guru, nasib profesi guru sendiri masih menjadi pertanyaan.
“Tantangan guru bila dilihat dari perspektif besar banyak. Tapi kita mau soroti ya, (tantangan utama) kepastian masa depan dan kejelasan masa depan guru. Itu yang paling dirindukan para guru,” tutur Prof Unifah Rosyidi sebagaimana dilansir oleh Berita Satu, Jumat 25 November 2022.
Prof Unifah menuturkan, sampai saat ini masih banyak guru yang hidupnya berada di bawah standar kelayakan. Guru-guru tersebut rerata merupakan guru yang masih belum memiliki kejelasan status, mulai dari guru honorer, atau guru-guru yang masih menunggu atrean sertifikasi.
Lebih lanjut Prof Unifah menuturkan, bahwa ketidakjelasan nasib para guru ini juga dipengaruhi oleh cara pandang pemerintah terhadap anggaran pendidikan. Pemerintah memandang anggaran yang dikeluarkan untuk sektor pendidikan sudah sangat besar karena mencapai kisaran 670-an triliun.
“Cara pandang pemerintah yang perlu diubah. Terlihat besar itu karena hanya melihat total nominalnya saja. Tapi setelah dibagi untuk sekian juta guru, nilainya akan terlihat sangat kecil. Besar karena orangnya banyak,” tandas Prof Unifah.
Prof Unifah menambahkan, hal yang dikhawatirkan dari ketidakpastian nasib guru adalah semakin terpuruknya profesi guru di masa mendatang. Pasalnya, generasi-generasi muda cerdas, yang semestinya dapat menjadi guru, akhirnya enggan menjadi memilih profesi ini dan memilih profesi lain yang lebih menjanjikan. Ini akan berdampak signifikan pada penurunan kualitas guru.
Sementara itu, ditemui secara terpisah, Ketua PGRI Jawa Tengah, Dr Muhdi, juga menyinggung masalah guru honorer yang belum mendapatkan kepastian nasib. Meski sudah ada jalur seleksi ASN PPPK yang menjembatani, tapi karena “komunikasi” pemerintah pusat dan pemerintrah daerah kurang bagus, banyak kebijakan-kebijakan tentang ASN PPPK yang akhirnya tidak sinkron.
“Kebijakan pusat meminta pemerintah daerah untuk mengajukan formasi sebanyak, tapi pemerintah daerah masih enggan dan tarik ulur. Hal ini terkait dengan belum jelasnya ‘komunikasi’ tentang sistem penggajian mereka. Antara pusat dan daerah masih belum sinkron,” tutur Dr Muhdi.
Kendati demikian, Dr Muhdi berharap masalah guru honorer dan tenaga kependidikan honorer akan segera dapat dituntaskan sebelum tahun 2023. Sebab bila masalah ini terus berlarut-larut tanpa kepastian, kualitas pendidikan Indonesia juga akan menjadi taruhannya.
Sementara itu, Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, dalam ulasannya di Hari Guru Nasional, menguraikan bahwa masalah kecerdasan sebuah bangsa hanya bisa dicapai melalui sektor pendidikan. Sedangkan kata kunci pendidikan ada pada guru. Guru menjadi ujung tombak bagi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia.
“Pemerintah semestinya memperhatikan nasib guru. Tapi faktanya, ada 900 ribu orang mendaftar guru melalui ASN PPPK, 293 ribu sudah dapat formasi, sedangkan 193 ribu belum mendapat formasi meski lulus passing grade,” tutur Faqih.
Faqih berharap pemerintah melalui Medikbudristek benar-benar memperhatikan nasib para guru. Diperhatikan kejelasan nasibnya, diperhatikan kesejahteraannya, dan diperhatikan jaminan sosialnya. Guru yang kuat akan melahirkan generasi yang kuat dan berkualitas. Transformasi pendidikan hanya dapat dilakukan oleh guru. (za)