Home > D’Opini > PGRI Jawa Tengah dan Kepemimpinan Yang Iconic

PGRI Jawa Tengah dan Kepemimpinan Yang Iconic

SUNARTO MPd

PGRI sebagai organisasi profesi terbesar selalu menarik dibicarakan. Selain karena anggotanya sangat banyak PGRI juga selalu berada dalam pusaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu mau tidak mau PGRI selalu bersinggungan dengan kehidupan politik dan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.

Sebagai organisasi besar tentu peran kepemimpinan PGRI, “sebagai nahkoda” menjadi sangat vital. Kepemimpinan PGRI tidak sekedar menjadi conductor dalam orkestrasi organisasi, namun juga harus berani menjadi kompas dan sekaligus sebagai steering gear. Ketua PGRI ke depan tidak saja harus mengakomodasi keinginan dan harapan anggotanya, namun harus memberikan arah organisasi yang jelas di tengah-tengah lautan luas yang bisa saja terjadi badai setiap saat. PGRI harus tetap berdiri kokoh sebagai bahtera mandiri yang bukan saja bertugas menyelamatkan anggotanya, namun juga harus menjadi solusi terhadap permasalahan yang terjadi dalam negeri ini.

Ketua PGRI ke depan harus mampu menjadi perubah arah (steering gear) organisasi karena harus segera tanggap bahwa tuntutan zaman dan tuntutan rezim akan begitu cepat mengalami perubahan-perubahan. PGRI tidak boleh telat dalam merespon setiap arah perubahan yang terjadi. Karena sekali terlambat bangun bahtera besar ini tanpa disadari telah berubah arah dengan sendirinya, dan kemungkinan besar hanya akan menjadi korban dari derasnya arus besar yang ada.

Kepemimpinan Yang Iconic
Jawa Tengah bangga punya sosok Muhdi yang merepresentasikan sosok pemimpin PGRI yang diharapkan zaman. Sebagaimana kepemimpinan Sulistiyo (2008-2016) di PB PGRI, saat ini PGRI juga butuh kepemimpinan yang iconic. Beliau adalah sosok pemimpin yang sangat dicintai anggota PGRI. Keberanian dan kecerdasan beliau serta luasnya koneksitas beliau membuat PGRI benar-benar menjadi organisasi yang disegani.

Keberanian beliau dalam memperjuangkan nasib guru waktu itu menjadi sangat mengesan bagi seluruh anggota PGRI dari sabang sampai merauke. Bahkan beliau berani “turun jalan” berhadap-hadapan dengan rezim saat itu. Kehebatan Sulistiyo dalam berorasi baik di dalam organisasi maupun di forum-forum resmi mampu mempengaruhi semangat anggota dan sekaligus juga mampu mempengaruhi keputusan pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan di dunia pendidikan.

Latar belakang sulistiyo yang merupakan aktivis mahasiswa dan lahir sebagai pengurus PGRI di zaman reformasi sangat mewarnai pola kepemimpinan beliau. Melihat kondisi guru yang hidup memprihatinkan dan tersingkirkan Sulistiyo terpaksa harus menggelorakan PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan. Bahkan pada tahun 1999 PGRI didaftarkan sebagai organisasi serikat pekerja di Depnaker. Sosok kepemimpinan seperti Sulistiyo benar-benar dibutuhkan pada zaman itu.

PGRI Sebagai Organisasi Profesi
Kini zaman telah berubah. Kondisi guru sudah jauh lebih baik. Tidak hanya guru PNS yang bisa merasakan tunjangan profesi guru, namun juga guru-guru swasta memiliki hak yang sama. Tantangan sekarang adalah segera mengembalikan fitrah PGRI sebagai organisasi profesi di tengah-tengah persaingan banyaknya organisasi profesi yang muncul belakangan ini.

PGRI harus segera menyejajarkan diri dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), IAII (Ikatan Ahli Informatika Indonesia), PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IAAI (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) PAI (Perhimpunan Advikat Indonesia) dan masih banyak lagi.

Dengan meningkatkan performa PGRI sebagai organisasi profesi maka secara otomatis sudah menjadi bargaining tersendiri. Hal tersebut dikarenakan PGRI otomatis menjadi “penentu” keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. PGRI tidak boleh terlena dengan perjuangan model “serikat kerja” yang mudah sekali demonstrasi turun ke jalan jika keinginan organisasi tidak terakomodasi.

Hal tersebut hanya akan dipersepsikan sebagai organisasi yang tidak memiliki bargaining dalam pemerintahan. Demonstrasi adalah jalan terakhir jika diplomasi sudah menemui jalan buntu. Maka jika demonstrasi sering digunakan, menandakan lemahnya diplomasi organisasi.

Sekarang zaman telah berubah. Model politik kekuasaan pemerintah juga sudah berubah. Jika zaman dulu pemerintah bisa bertindak lebih dahulu demi “keberhasilan” program pemerintah walaupun terkadang belum ada payung hukum yang melandasinya. Sehingga jika terjadi gejolak, maka akan mudah sekali didebat atau didemonstrasi. Sekarang, pemerintah jauh lebih pinter. Sebelum menjalankan kebijakan, pemerintah jauh-jauh hari sudah menyiapkan payung hukum untuk melindungi. Bisa berupa undang-undang, peraturan pemerintah, perpres, permen dan sebagainya. Maka setiap kali terjadi gejolak di lapangan pemerintah selalu dapat “mementahkan” karena apapun yang dilakukan pemerintah dalihnya adalah hanya menjalankan konstitusi yang ada. Ingat pengalaman terakhir yang masih hangat tentang IKN dan pilpres. Dan juga hampir saja tentang pendidikan dengan akan diubahnya UU SISDIKNAS.

Pemimpin PGRI Yang Transformatif
Melihat fenomena tersebut gaya kepemimpinan PGRI juga harus menyesuaikan dengan pola kekuasaan masa kini. Adalah Muhdi Ketua PGRI Jawa Tengah Periode XXII yang mampu merepresentasikan pemimpin masa depan yang bisa menjadi panduan bagi seluruh pemimpin PGRI di seluruh Indonesia. Secara garis besar Muhdi menjadi pemimpin PGRI yang transformatif untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan tantangan zaman.

Namun dari sekian transformasi kepemimpinan PGRI sebagaimana juga dilakukan oleh para pemimpin yang lain ada hal-hal yang istimewa yang dilakukan Muhdi untuk menjawab tantangan zaman, dengan menunjukkan hal-hal sebagai berikut; Pertama, Lebih mengutamakan diplomasi dari pada demonstrasi. Ini menjadi kecemerlangan Muhdi dalam memimpin PGRI Jawa Tengah. Prinsip-prinsip kepemimpinan jawa yang efektif dengan ciri-ciri “ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji” benar-benar bisa diejawantahkan dengan sangat baik oleh Muhdi. Dengan mengedepankan diplomasi kita tidak akan pernah kalah dalam setiap pertarungan. Karena di dalam diplomasi itu tidak ada istilah kalah mutlak (1:0). Jika harus kalah pasti tetap dapat poin (2:3), toh jika menang juga tidak merendahkan lawan (3:2). Demi keberhasilan perjuangan tidak harus berbondong-bondong, sering kali justru lebih efektif dilakukan sendiri sambil ngopi bareng. Di sini kepemimpinan PGRI diperlukan kecerdasan intelektual (IQ) dan juga kecerdasan emosional (EQ). Model kepemimpinan ini harus segera ditiru oleh struktur kepengurusan PGRI baik ditingkat pusat, maupun di kabupaten/kota;

Kedua, Peka terhadap gejala perubahan. Kepemimpinan era-sekarang tidak hanya dibutuhkan kecerdasan, namun juga kepekaan terhadap “gejala perubahan” (prediktif) yang akan dan sedang bergerak. Kepekaan terhadap gejala perubahan ini sangat penting, sebab jika menyadari adanya perubahan setelah terjadi, berarti sudah terlambat. Dengan demikian jika perubahan itu tidak sesuai dengan idealisme para guru, maka perjuangan yang harus dilakukan sudah sangat berat. Perjuangan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar diplomasi, tetapi juga harus berjuang merubah peraturan dan perundang-undangan yang ada. Dan itu butuh waktu dan energi yang amat besar. Contoh perjuangan yang terakhir yang membuat kita semua lega adalah “ditundanya” Perubahan UU SISDIKNAS. Bisa dibayangkan jika UU itu telah disahkan dengan melebur UU Guru dan Dosen, dan tunjangan profesi guru ditiadakan. Yang paling merasakan adalah seluruh guru swasta karena tidak ada kompensasi penggantinya. Perjuangan untuk mengembalikan kesejahteraan guru tentu akan menjadi sangat berliku dan melelahkan.

Ketiga, Organisasi PGRI dikelola secara profesional dan modern dengan menerapkan “provitisasi” organisasi. Walau PGRI sebagai organisasi massa non-profit, tetapi Muhdi sadar betul bahwa kebesaran sebuah organisasi tidak terlepas dari biaya operasional yang harus digunakan dan tersedia dengan cukup. Tidak elok jika organisasi yang demikian besar, setiap kali akan melaksanakan kegiatan anggotanya harus iuran dan iuran lagi. Organisasi PGRI dikelola dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimiliki, sehingga PGRI Jawa Tengah menjadi PGRI yang paling “makmur” di Indonesia. Lihat saja berbagai usaha yang dilakukan mulai dari UPGRIS, Hotel-hotel PGRI, Percetakan, Dana Setia kawan Pensiun, dan BPR Guru, dan gagasannya untuk mendirikan RS milik PGRI. Ini tidak terlepas dari kepemimpinan Muhdi yang gemilang.

Keempat, Mengayomi anggota dengan sepenuh hati. Setiap kali terjadi permasalahan terhadap anggota PGRI, Muhdi langsung tampil untuk melindungi dengan berbagai cara. Peristiwa terakhir yang masih segar dalam ingatan bagaimana Muhdi melindungan Kepala SMK Negeri 1 Sale di Rembang yang harus menerima sanksi dari Gubernur gegara siswa ditarik infaq untuk pembangunan mushola sekolah. Dan yang tidak kalah hebatnya bagaimana Muhdi memperjuangkan guru wiyata bhakti untuk dapat lolos seleksi PPPK. Mulai dari perjalanan “Isro’ mi’roj” menurunkan batasan nilai passing grade, menambah kuota, dan juga keikutsertaan guru-guru swasta untuk bisa ikut seleksi. Lebih jauh lagi bagaimana Jawa Tengah di bawah pimpinan Muhdi ikut secara aktif membela guru-guru SMPN 1 Turi dalam tragedi susur sungai. Belum lagi ketika di beberapa wilayah anggota PGRI tertimpa musibah kebakaran, kekeringan, kebanjiran dan masih banyak contoh lain bagaimana Muhdi tidak ragu-ragu tampil untuk memberi rasa aman terhadap setiap masalah yang dihadapi anggotanya.

Sunarto, M.Pd
Sekretaris PGRI Kabupaten Banjarnegara

You may also like
Cagub Cawagub Ahmad Lutfi – Taj Yassin dan Cawalkot Yoyok Sukawi Kunjungi PGRI Jateng
A. Fikri Faqih
DPR RI Sambut Baik Pecahnya Kemendikbudristek dalam 3 Kementerian
130 Pelajar Ikuti Kegiatan Larung Sastra
Pasangan Cagub-Cawagub Andika-Hendi Kunjungi Kantor PGRI Jateng

Leave a Reply