SEMARANG, derapguru.com – Banyak konser musik dihentikan karena ricuh dan berpotensi membahayakan penonton. Tidak hanya dihentikan saja, pada kasus konser “Berdendang Bergoyang” misalnya, penyelenggaranya bahkan sampai diseret dalam jeratan hukum.
Berbagai kondisi ini tentu saja memprihatinkan. Di satu sisi animo masyarakat terhadap pertunjukan sedang tinggi-tingginya setelah dua tahun pandemi. Di sisi lain, EO sebagai penyelenggara juga khawatir dengan resiko dan bayang-bayang hukum.
Pengamat Seni Pertunjukan dari UPGRIS, Prasena Arisyanto, menuturkan bahwa langkah petugas sudah tepat untuk menghentikan konser-konser yang beresiko. Tragedi Kanjuruhan dan Tragedi di Itewon Korea Selatan cukuplah menjadi pelajaran bahwa pengumpulan massa dalam jumlah besar harus dibarengi manajemen resiko yang baik.
“Petugas memang harus tegas. Jangan sampai jatuh korban lalu saling tuding. Di sisi lain EO juga jangan serakah. Hanya karena animo meningkat, tiket dijual tanpa perhitungan. Jangan hanya buru untung,” tegas Prasena.
Lebih lanjut Preasena menuturkan, ada 4 hal yang harus dipertimbangkan terkait manajemen resiko ketika hendak menggelar pertunjukan. Keempat hal tersebut antara lain segmentasi, genre pertunjukan, target jumlah penonton, dan pemilihan lokasi. Pada sisi segmentasi, perlu dilihat pertunjukannya untuk segmen pasar seperti apa.
“Pertunjukan untuk segmen kelas atas tentu akan berbeda bentuk dengan pertunjukan segmen kelas bawah. Masing-masing kelas ini memiliki selera pertunjukan dan karakter histeria yang berbeda. Kelas bawah resikonya jauh lebih tinggi dibandingkan kelas atas,” tutur Prasena.
Hal kedua yang perlu dipertimbangkan adalah genre pertunjukan. Masing-masing genre pertunjukan ini membawa karakter massa yang berbeda-beda. Pertunjukan wayang kulit—yang misalnya saja mampu mendatangkan ribuan orang karena dalangnya kondang—tentu akan berbeda karakter massanya dengan pertunjukan musik dangdut.
“Ketiga, target jumlah penonton. Meski animo masyarakat sedang tinggi-tingginya, EO ya jangan asal memburu keuntungan. Konser yang semestinya maksimal 50 ribu orang, tiba-tiba dijual tiket sampai 75 ribu orang. Overload dan sangat beresiko. Bila kapasitasnya 50 ribu orang, isi maksimalnya ya ¾ saja. Harus disediakan ruang kosong,” tutur Prasena.
Bila EO tidak mau terlalu rugi dengan pemanfaatan ruang yang ¾ persen saja, ada trik umum yang bisa ditempuh, yakni dengan pembagian kelas penonton, mulai kelas VVIP, VIP, dan Festival. Disperitas harga masing-masing kelas inilah yang digunakan untuk menutup 1/3 ruang yang kosong.
“Sedangkan keempat adalah pemilihan lokasi. Konser yang mendatangkan histeria massa tinggi harus dipilihkan lokasi outdoor dengan ruang massa yang lebih luas dan lapang. Perlu juga dipertimbangkan akses keluar masuk yang memadai supaya tidak terjadi penumpukan,” tutur Prasena.(za)