
SEMARANG, derapguru.com — DPD RI mendorong harmonisasi legislasi tata ruang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Upaya ini dilakukan dalam rangka mendorong tercapainya reformasi otonomi daerah supaya tidak terjadi lagi ketumpangtindihan kewenangan pengaturan tata ruang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr H Muhdi SH MHum, dalam acara Sosialisasi dan Dialog Kebijakan yang digelar DPD RI bekerja sama dengan Universitas PGRI Semarang, di Grand Ballroom 7fl Menara Kampus Pusat UPGRIS, Selasa 8 Juli 2025.
“Ada banyak kewenangan perizinan daerah yang kini ditarik ke pusat, tapi tidak diikuti dengan dukungan pendanaan dan teknis ke daerah. Akibatnya, pemerintah daerah kesulitan menyusun perda. Padahal, (mereka juga ditekan) jika perda tidak selesai tepat waktu, kewenangan itu bisa hilang ke pusat,” urai Muhdi.
Kondisi seperti ini, lanjut Muhdi, tentu saja memerlukan harmonisasi baik. Oleh karena itulah pihaknya mendorong pemerintah pusat menerbitkan pedoman penyusunan perda tata ruang dan membuka ruang konsultasi bagi daerah agar dapat menyusun kebijakan yang harmonis dan sesuai regulasi nasional.
“Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja memang mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi pelaksanaannya menimbulkan tantangan serius dalam penataan ruang, terutama pada level daerah. Ada banyak kewenangan perizinan daerah yang kini ditarik ke pusat, tapi tidak diikuti dengan dukungan pendanaan dan teknis ke daerah,” urai Muhdi.
Dalam acara yang dihadiri akademisi, praktisi, dan pemerintah daerah tersebut, Muhdi juga menyampaikan bahwa saat ini DPD RI juga tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perkotaan. RUU ini dianggap mendesak mengingat perkembangan industri di berbagai daerah telah mulai memunculkan kota-kota baru yang belum memiliki kerangka hukum dan tata kota yang memadai.
“Bila tidak diatur dari sekarang, nanti akan lebih repot lagi bila sudah terlanjur membesar dan semakin kompleks,” tandas Muhdi.
Ketua BLUD DPD RI, Ir Stefanus BAN Liow MAP, menekankan bahwa kebijakan tata ruang harus merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Menurutnya, perlu adanya sinkronisasi antara peraturan daerah dan regulasi pusat agar pelaksanaan tata ruang berjalan efektif.
Stefanus juga menyoroti masih adanya tumpang tindih regulasi yang menyulitkan daerah. Ia mencontohkan, jika dalam 18 bulan perda belum diselesaikan, maka kewenangan bisa diambil alih pusat melalui keputusan menteri. Perubahan-perubahan kebijakan selanjutnya pun akan mempersulit penyesuaian di daerah.
Sementara itu, Rektor Universitas PGRI Semarang, Dr Hj Sri Suciati MHum, menyatakan bahwa tata ruang merupakan aspek krusial dalam pembangunan. Namun, isu ini belum menjadi prioritas nasional. Oleh karena itu, dialog seperti ini penting untuk merumuskan kebijakan yang membawa dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Sri Suciati, kebijakan tata ruang yang tidak konsisten kerap memicu bencana seperti banjir, longsor, dan gempa. Ia menegaskan bahwa konsistensi penerapan regulasi merupakan kunci keberhasilan penataan ruang yang berpihak pada keselamatan masyarakat. (za)