SEMARANG, derapguru.com — Momen lebaran selalu identik dengan sajian opor ayam dan ketupat. Tak mengherankan bila ketupat–dalam ilmu semiotika–menjadi semacam “reminder” bagi perayaan hari lebaran. Ingat ketupat, ingat lebatan.
Tapi apa yang disajikan dalam acara Halal Bi Halal Keluarga Besar Universitas PGRI Semarang di Balairung UPGRIS, Selasa 16 April 2024, sangatlah berbeda. Biar tidak terlihat “mainstream”, semua paket menu lebaran diubah dengan menu-menu lainnya.
Opor ayam diganti tengkleng, ketupat diganti nasi ayam, dan menu pelengkap lainnya diganti bakso dan es puter? Tentu saja sajian ini lebih menarik ketika kita telah digelontor sajian opor ayam plus ketupat selama libur lebaran kemarin.
Halal Bi Halal, bagi UPGRIS, memang selalu dijadikan momen awal untuk memulai berkegiatan setelah melewatkan masa libur lebaran. Melalui momen ini, setiap sivitas akademika bisa saling bermaafan dan membangun kembali sinergitas bersama untuk memperkuat UPGRIS.
Rektor UPGRIS, Dr Hj Sri Suciati MHum, dalam sambutannya menyampaikan bahw bermaafan adalah tradisi baik yang harus terus dilakukan. Bermaafan juga bisa menjadi alat pemotong rantai kebencian yang mungkin saja tumbuh saat melakukan interaksi dengan manusia lainnya.
“Yang namanya memaafkan adalah hadiah terindah, terutama untuk diri saya sendiri, karena memaafkan sungguh akan mendamaikan hati,” tutur Dr Sri Suciati.
Lebih lanjut Dr Sri Suciati menyampaikan, bahwa sedikitnya ada 5 hikmah yang bisa kita petik selama menjalani ibadah puasa ramadan. Pertama, kita bisa belajar menjadi seperti akar tanaman.
“Akar itu tidak terlihat, tapi akar memberi manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dan itu adalah konsep bersedakah. Maka dari itu, pada bulan Ramadan banyak orang berlomba memberikan sedekah,” tutur Dr Sri Suciati.
Kedua, lanjut Dr Sri Suciati, kita bisa berlajar hidup seperti laba-laba. Laba-laba rumahnya sering hancur. Tapi laba-laba akan membangun rumahnya kembali menjadi lebih kokoh. Dan itu adalah konsep kesabaran. Selama berpuasa kita digembleng untuk menjadi lebih sabar agar kita bisa menjadi manusia yang lebih baik hati.
“Ketiga, melalui ramadan kita juga belajar hidup menjadi seperti burung. Burung mampu terbang sangat tinggi tapi burung tidak pernah untuk lupa daratan. Itu adalah konsep bersyukur,” tuturnya.
Keempat, kita juga bisa belajar hidup seperti air. Air itu sangat diperlukan dan selalu kita gunakan. Tapi setelah kita pakai air kita buang. Itu adalah konsep ikhlas. Ikhlas dalam menerima takdir kita masing-masing.
“Dan yang terakhir, kita bisa belajar hidup seperti padi. Padi itu semakin berisi semakin merunduk. Itu adalah konsep kerendahan hati,” tandas Dr Sri Suciati. (za)