YOGYAKARTA, derapguru.com – Banyak orang berpikir, bekerja keras bisa mengantarkan pada kesuksesan. Tapi bekerja terlalu keras sampai di luar batas kewajaran, apakah normal? Hati-hati Anda sedang melakukan hustle culture.
Hustle culture menjadi istilah populer di kalangan generasi muda yang mengacu pada gaya hidup yang menekankan bekerja lebih banyak dan keras serta menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang normal.
Gaya hidup seperti ini, secara umum bisa digambarkan sebagai respon terhadap pekerjaan yang harus ditangani secara profesional dan berkualitas tinggi.
Psikolog dari UGM, Indrayanti MSi PhD, mendefinisikan hustle culture sebagai sebuah istilah yang berkembang dari workaholic. Kondisi ini bisa terjadi pada siapapun tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga dapat terjadi di dunia pendidikan.
“Melihat kondisi kerja yang situasinya pada workaholic akhirnya kepikiran, ada racun di pikiran. Jangan-jangan yang disebut produktif yang harus kerja keras, lembur, dan akan merasa bersalah jika gak kayak gitu,” ujarnya seperti yang dilansir dari laman resmi UGM, Rabu 4 Januari 2023.
Hal itu pada akhirnya membuat seseorang tidak memiliki waktu untuk diri sendiri atau keluarga. Kondisi ini berkembang lagi menjadi toxic productivity.
Lebih lanjut Indrayanti mengatakan situasi hustle culture yang terjadi pada tiap-tiap individu kemudian menjadi sebuah fenomena yang dilihat di lingkungan.
Akibatnya, kemudian menjadi sebuah gaya hidup atau budaya. Hal ini membuat banyak generasi muda berpikir tentang produktivitas yang tepat adalah yang banyak dinormalkan.
Terlebih muncul sebuah fenomena bahwa generasi muda harus terus bekerja agar tidak merasa tertinggal dengan yang lain.
Hustle culture kian populer seiring dengan berkembangnya media sosial. Kebanyakan orang membagikan pencapaiannya melalui media sosial ini yang semakin memupuk perasaan insecure dan membandingkan diri dengan orang lain.
“Kalau orang lain kaya gitu berarti produktif itu yang kerja keras, lembur sampai malam, bawa laptop sampai tiga. Jika tidak melakukan hal seperti itu lantas menjadi insecure,” tutur Indrayanti. (za)