CIANJUR, derapguru.com – Gempa Cianjur ternyata mendapat perhatian serius dari masyarakat pendidikan internasional. Banyak telpon dari masyarakat pendidikan di luar negeri yang menanyakan dampak gempa pada pendidikan di Cianjur.
“Ketika gempa di Cianjur, saya hanya diam. Ya Allah, ya Gusti Pangeran. Tak lama kami langsung dapat banyak telepon internasional. Dapat banyak ucapan duka. Banyak yang bertanya bagaimana Cianjur, bagaimana gurunya, bagaimana siswanya, orang tuanya. Inilah suara solidaritas dari internasional,” tutur Prof Unifah di sela acara penyaluran Bantuan Gempa Cianjur PGRI Jawa Tengah, Sabtu 14 Januari 2023.
Kedatangan PGRI Jateng ke Cianjur ini, lanjur Prof Unifah, juga wujud nyata dari sebuah kata solidaritas, solidaritas sebuah organisasi. Harapannya, hal-hal semacam ini terus dipupuk dan menjadi kebiasaan seluruh anggota PGRI se-Indonesia.
“Kami saat ini sedang mendapatkan tugas untuk membantu pemerintah memupuk rasa solidaritas pada anak-anak didik. Ini sebuah program nasional untuk membangun karakter yang positif. Jadi kata solidaritas semestinya tidak hanya selesai dikata-kata,” tutur Prof Unifah.
Lebih lanjut, Prof Unifah menyampaikan, PB PGRI mendorong anggotanya untuk turut berjuang diberbagai jalan yang bisa mendukung dan menopang kekuatan PGRI. Baik berjuang melalui lobi-lobi atau berjuang melalui jalur-jalur yang menguatkan peran organisasi dalam membela guru dan tenaga kependidikan.
“Saudara kita sesama pendidik di Kementerian itu jumlahnya sekitar 70 orang. Itu jumlah yang tidak sedikit. Tapi siapa yang selama ini berani dan lantang memperjuangkan para guru dan tenaga pendidik di Indonesia, jawabnya hanya PGRI,” tandas Prof Unifah.
Oleh karena itulah, Prof Unifah mendorong tokoh-tokoh daerah anggota PGRI untuk muncul ke permukaan, turut membantu perjuangan PB PGRI untuk para guru dan tenaga kependidikan. Jangan biarkan PB PGRI berjuang sendiri karena tantangan organisasi ke depan makin berat.
“Bayangkan bila tunjangan guru dihapus. Bayangkan bagaimana nasib guru honorer, nasib guru PPPK, atau malah nasib guru yang belum bersertifikasi. Mereka punya hak yang harus kita perjuangkan. Bantulah kami. Bantulah ibu ini,” tutur Prof Unifah.
Di luar itu, Prof Unifah juga menyampaikan autokritik terhadap organisasi sendiri. Terutama dalam masalah komunikasi dengan pimpinan bangsa. Prof Unifah meminta kebiasaan latah untuk bilang “huuuu” saat pimpinan sedang berbicara atau menyampaikan pidato supaya tidak lagi terjadi.
“Apapun yang beliau sampaikan, bila pemimpin bicara, dengarkan secara baik. Masak Pak Jokowi yang begitu baik hadir di HUT PGRI di Bekasi, datang menyerahkan sertifikat guru begitu banyak, saat bicara malah diteriaki ‘huu’,” tutur Prof Unifah.
Perilaku-perilaku seperti inilah, lanjut Prof Unifah, yang terkadang membuat komunikasi organisasi dengan para pemimpin menjadi rumit. Padahal komunikasi organisasi sangat penting. Setidaknya karena hasil komunikasi organisasilah, PGRI berhasil mempertahankan tunjangan profesi guru sampai saat ini.
“Ketika RUU Sisdiknas siap masuk Prolegnas Prioritas, malam harinya saya meminta asistennya untuk menyampaikan kegelisahan kami. Pagi harinya, di hari yang sama dengan pengajuan Prolegnas, saya diminta menghadap. Pak Jokowi dengan lembut bertanya, ‘Ada masalah apa, Bu Unifah?’ Lalu saya sampaikan ke beliau. Alhamdulillah, siang harinya RUU Sisdiknas batal dijadikan Prolegnas Priotitas,” tutur Prof Unifah. (za)