Agenda: Audiensi Guru Honorer Reporter: Tim Redaksi
SEMARANG, derapguru.com – Sejumlah guru honorer dari sebagian eks-Krasidenan Kedu (Magelang, Purworejo, Temanggung) dan Kota Semarang mendatangi Kantor PGRI Jateng untuk meminta nasib mereka diperjuangkan. Rombongan didampingi langsung Ketua PGRI Temanggung, Sarwana SPd, untuk menyampaikan keluh-kesahnya menghadapi kondisi di lapangan pada jajaran pengurus PGRI Jawa Tengah di Gedung Guru PGRI Jateng, Jumat 21 Oktober 2023.
Sarwana dalam pengantarnya menyampaikan bahwa para perwakilan guru yang datang ke kantor PGRI Jateng ini membawa segudang masalah di lapangan pascamasuknya PPPK. Sarwana juga meminta agar nasib para guru honorer ini dapat diperjuangkan PGRI dan mendapatkan solusi atas berbagai masalah yang dihadapinya.
“Kami mengucapkan terima kasih telah diterima untuk beraudiensi dengan Pak Ketua dan pengurus PGRI Jateng. Kami antarkan guru-guru honorer kami yang ingin berdiskusi tentang nasib mereka setelah adanya seleksi PPPK. Kerena status administrasi guru-guru setingkat SMA ada di provinsi, maka kami mohon pencerahan, arahan, dan bantuan agar guru-guru ini dapat mengatasi masalahnya,” urai Sarwana.
Dalam audiensi tersebut, perwakilan guru honorer dari Magelang, Avisena SPd, menyampaikan kondisi guru honorer di lapangan yang kini makin terdesak posisinya. Masuknya guru kategori P1 (Prioritas 1/guru non-honorer lolos passing grade seleksi 2021) ke sekolah membawa imbas yang tidak kecil bagi guru honorer. Tidak sedikit guru honorer yang tergeser dari posisi mengajarnya. Sebagai contoh, ada guru bahasa Jawa—karena masuknya P1 Bahasa Jawa—harus mengajar Seni Budaya, dan masih banyak kasus lainnya.
Avisena menambahkan, bukan hanya kehilangan hak atas mata pelajaran yang selama ini diampu. Guru P1 juga membawa dampak tidak pada ”rontoknya” penghasilan guru-guru honorer. Bagaimana tidak, guru honorer digaji menggunakan patokan jam mengajar, sedangkan kedatangan guru honorer mengakibatkan jam mengajar mereka berkurang.
“Guru GTT (Guru Tidak Tetap/Guru Honorer, red) itu digaji berdasarkan jumlah jam. Bila jam kita berkurang, otomatis penghasilan kita berkurang. Apalagi kalau kurang dari 15 jam, gaji di bawah 2 juta rupiah. Kami itu kalau melihat guru honorer, hawanya kami emosi, Pak. Seumpama disiapkan ring gitu, mending kami berantem di ring,” tutur Avisena memancing tawa yang terasa getir.
Hal yang serupa diungkapkan Perwakilan Guru Honorer dari Temanggung, Mayliza SPd. Masuknya guru P1 membuat situasi makin kacau karena banyak pergeseran terjadi. Beberapa guru honorer yang sudah punya Sertifikasi Pendidik (Serdik) juga turut tergeser sehingga tidak bisa mencairkan tunjangan sertifikasinya.
“Ada juga guru honorer, karena masuknya PPPK, kemudian tidak mendapatkan jam mengajar. Guru ini akhirnya dialihtugaskan pada bagian tata usaha. Melihat cara pemerintah menyelesaikan guru honorer ini bukannya tambah tuntas tapi malah tambah rumit dan kacau,” tandas Mayliza.
Mayliza yang mengabdi di SLB Temanggung ini menambahkan kondisi psikis guru-guru honorer yang semakin tertekan. Bukan hanya tertekan dengan banyaknya pergeseran, tapi mulai muncul adanya gesekan dengan guru P1 yang masuk ke sekolah. Mereka yang dari swasta tidak ikut berjuang tapi tinggal menikmati hasilnya.
“Kami sekarang itu seperti dianaktirikan. Padahal kami itu anak kandung. Secara status, kami memang dipertahankan, tapi tidak diperjuangkan. Tidak diopeni. Sekarang kami ini banyak yang digeser sehingga tidak linear. Padahal kami ini yang merangkak berjuang. Kami diperas tenaganya, tapi tidak dihargai,” tutur Mayliza.
Menggenapi berbagai fenomena tersebut, Perwakilan Guru Honorer Semarang, Ahmad Munif SPd, menuturkan memang banyak pergeseran terjadi pada guru honorer yang berdampak pada masalah linearitas ijazah dengan apa yang diajarkan. Berdasarkan data yang dimiliki, Ahmad Munif memperlihatkan besaran pegeseran mencapai 15 persen, yang kemudian mengakibatkan guru honorer tidak sesuai ikazah menjadi 19 persen.
“Ada pula kasus guru honorer banyak yang tidak mendaftar PPPK. Selain masalah tidak adanya formasi yang dibuka. Ada banyak kasus guru honorer tidak mau mendaftar karena masalah penempatan yang jauh. Ini juga menjadi faktor penting mengingat guru honorer itu rerata sudah berkeluarga dan tempat tinggalnya sudah dikondisikan mendekati sekolah. Kacau bila harus ditempatkan di lokasi jauh,” tutur Ahmad Munif.
Selain itu, Ahmad Munif juga menuturkan, ada kondisi aneh dengan rekrutmen PPPK tahun ini. Ada formasi yang kurang pendaftar, tapi tidak bisa dimasuki oleh guru di luar P1. Padahal, bila ada formasi kosong mestinya, guru P3 bisa ikut serta dalam seleksi, tapi kenyataannya tidak bisa.
“Kouta PAI sebanyak 139. Yang mendaftar hanya 110-an. Masih ada 29 yang kurang. Bila mengikuti mekanisme, mestinya P3 bisa masuk, ternyata tidak bisa. Ini kan tambah rumit lagi. Mestinya penanganan penuntasan guru honorer ini dikembalikan lagi pada awalnya. Honorer kan sudah ada tempatnya, jamnya juga jelas. Kalau honorer diselesaikan lebih dulu kan tak kacau seperti ini,” tandas Ahmad Munif.
Ketua PGRI Jateng, Dr H Muhdi SH MHum, menyampaikan terima kasih atas kepercayaan para guru pada organisasi PGRI. PGRI selama ini terus konsisten dalam membela kepoentinga guru, tenaga kependidikan, maupun dunia pendidikan itu sendiri. Sepanjang sejarah pembukaan PPPK, PGRI Jateng turut terlibat langsung untuk menginisiasi lahirnya program ini.
PPPK pada awalnya memang dibentuk secara khusus untuk menuntaskan masalah kekurangan guru dan masalah guru honorer yang berlarut-larut. Pemerintah pusat memiliki niat yang baik untuk mengangkat semua guru honorer dan memenuhi semua kekurangan guru. Hanya saja, jumlah guru honorer ternyata hanya sekitar 600 ribuan saja. Sedangkan kekurangan guru mencapai 1 juta guru. Maka diambillah inisiatif membuka pula untuk formasi umum guna menggenapi sisa kebutuhan.
“Kebijakan pemerintah pusat untuk membuka pula jalur umum ini tentu saja dengan kenyakinan guru honorer akan clear. Butuhnya 1 juta, guru honorer hanya 600 ribu. Sayangnya, ketika formasi PPPK dibuka pemerintah daerah tidak mengajukan formasi penuh. Ini yang kemudian memicu masalah. Di sisi lain, guru honorer banyak yang belum memenuhi passing grade. Sedangkan guru non honorer banyak yang lolos passing grade,” tutur Dr Muhdi.
Lebih rumit lagi, lanjut Dr Muhdi, pemerintah pusat mengambil kebijakan baru akan langsung menerima guru non honorer yang lolos passing grade dengan istilah Prioritas 1 (P1) pada seleksi selanjutnya. Guru dengan status P1 tahun 2021 akan langsung diangkat pada seleksi 2002 dan hanya tinggal menunggu penempatan. Alasannya logis, sudah memenuhi grade minimal dari seleksi ASN.
“Tapi ketika pemerintah pusat mengambil kebijakan mengangkat langsung P1 pada seleksi PPPK selanjutnya, lagi-lagi daerah tidak mau membuka penuh. Untuk seleksi di Jawa Tengah tahun ini saja, formasi hanya dibuka 1500 ketika jumlah guru P1 sebanyak 6 ribu orang. Artinya, P1 saja tidak bisa masuk semua,” tandas Dr Muhdi.
Kendati demikian, Dr Muhdi menandaskan bahwa PGRI akan tetap concern memperjuangkan nasib para guru honorer. Pihaknya akan mencoba mencari jalan terbaik supaya masalah guru terselesaikan tapi juga tidak menimbulkan ekses yang berkepanjangan yang dampaknya akan merugikan dunia pendidikan.
Turut hadir dalam audiensi tersebut, Wakil Ketua PGRI Jateng Dr Bunyamin MPd, Wakil Ketua PGRI Jateng Sakbani SPd MH, Wakil Sekretaris Umum PGRI Jateng Dr Sapto Budoyo MH, Kabiro Kerjasama dan Pengembangan Usaha PGRI Jateng Imron Rosyadi MPd, dan Kabiro Infokom PGRI Jateng Dr Agus Wismanto MPd. (za)