BANGKOK, derapguru.com — Munculnya syarat wajib bersertifikat Guru Penggerak untuk menjadi kepala sekolah atau pengawas merupakan bentuk diskriminasi. Kebijakan ini perlu dikaji ulang mengingat belum ada naskah akademik yang memadai tentang kualitas Guru Penggerak.
Hal tersebut disampaikan Wasekjen PB PGRI, Catur Nurrochman Oktavian, saat dijumpai derapguru.com di sela kegiatan ACT+1 <span;>di Berkeley Hotel Pratunam, Bangkok Thailand, Jumat-Senin, 6-9 September 2024.
“Semua guru yang menjadi kepala sekolah dan pengawas harus memiliki sertifikat guru penggerak. Kalau bunyinya begitu, yang tidak bersertifikat jadinya tidak berhak dong. Ini kan diskriminasi,” tutur Catur.
Sebagai program, lanjut Catur, silakan saja Guru Penggerak ini dikembangkan. Tapi jangan ditambahi embel-embel menjadi syarat wajib untuk jabatan kepala sekolah dan pengawas sekolah.
“Emang jaminan tuh yang jadi Guru Penggerak bagus secara kualitas? Udah ada belum penelitian yang menguji? Karena bagaimana mungkin pelatihan secara daring selama enam bulan bisa melahirkan guru berkualitas,” urai Catur.
Lebih lanjut Catur menambahkan, kebijakan harus ada sertifikat Guru Penggerak ini menjadi jalan shortcut yang cukup beresiko. Pasalnya, untuk menjadi kepala sekolah itu tidak hanya pandai, tapi juga butuh kematangan dan pengalaman yang banyak.
“Jangan lupa pengalaman proses managerial seperti menjadi staf kurikulum atau menjadi wakil kepala sekolah juga sangat penting. Jangan hanya karena bersertifikat Guru Penggerak, guru yang masih baru lalu diangkat menjadi kepala sekolah,” urai Catur.
Catur menegaskan program guru penggerak ini cukup bagus untuk melatih guru dalam manajemen pembelajaran. Tapi kurang tepat bila digunakan untuk parameter manajemen kepemimpinan. (wis/za)