
Derapguru.com – Semarang, Rabu 22 Oktober 2025.
Suasana auditorium Gedung Pusat UPGIS Semarang mendadak hening ketika Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LLM., Ph.D., Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, menyebut satu kalimat yang tampak sederhana tapi sarat makna:
“Dua puluh persen itu paling sedikit, bukan paling banyak.”
Tepuk tangan langsung pecah—bukan karena angka itu baru, tapi karena cara memaknainya yang berubah total. Dalam revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), frasa “paling sedikit 20%” bukan sekadar formalitas anggaran, melainkan simbol komitmen baru: memastikan dana pendidikan benar-benar sampai pada inti — pembelajaran dan guru.

1. 20 Persen: Bukan Sekadar Angka, Tapi Amanat Konstitusi
Sejak reformasi, pasal 31 UUD 1945 mewajibkan negara mengalokasikan 20% APBN dan APBD untuk pendidikan.
Namun, dua dekade berlalu, realitasnya tidak sesederhana itu. Banyak kementerian ikut “memakai payung pendidikan” tanpa benar-benar menjalankan fungsi pendidikan.
“Kalau dihitung, Kementerian Dikdasmen hanya mengelola sekitar 7,9% dari total 20%. Pendidikan tinggi kira-kira 9%, sementara Kementerian Agama sekitar 11%. Jadi sebarannya timpang,” jelas Prof. Atip di hadapan peserta FGD.
Ia menegaskan bahwa pembenahan bukan soal menambah angka, melainkan menata distribusinya.
“Selama ini istilahnya melaksanakan fungsi pendidikan, tapi bukan penyelenggara pendidikan. Nah, ini yang perlu diluruskan.”
2. Arah Baru: Peran Kementerian Pendidikan dalam Pengalokasian
Dalam draf revisi RUU Sisdiknas, ada satu poin krusial: menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan akan ikut menentukan kebijakan pengalokasian dana pendidikan.
Kedengarannya teknis, tapi dampaknya sistemik. Selama ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (serta unit Dikdasmen) tidak terlibat langsung dalam proses perencanaan anggaran lintas kementerian. Akibatnya, kebijakan di atas kertas sering tidak sinkron dengan realitas lapangan di sekolah.
Kini, paradigma berubah. Kemendikbudristek tidak lagi menjadi penerima pasif, tapi perancang arah distribusi.
“Yang tahu kebutuhan di sekolah itu bukan kementerian lain, tapi guru dan kepala sekolah. Maka, pengalokasian harus melibatkan kementerian yang mengurus pendidikan,” tegas Wamen.
Langkah ini juga memperkuat asas akuntabilitas: uang negara harus berjejak jelas pada peningkatan mutu belajar, bukan sekadar pembangunan fisik atau pelatihan seremonial.
3. Sekolah Kedinasan: Dikecualikan dari 20 Persen
Salah satu pembaruan penting yang sempat memicu diskusi hangat dalam forum ialah pengecualian sekolah kedinasan dari perhitungan 20% anggaran pendidikan.
Mengapa?
Karena sekolah kedinasan berada di bawah kementerian teknis dan memiliki tujuan berbeda: menyiapkan aparatur, bukan mendidik warga negara.
“Anggaran untuk sekolah kedinasan sering lebih besar daripada yang diterima kementerian penyelenggara pendidikan,” kata Prof. Atip sambil tersenyum. “Padahal mandat konstitusi kita jelas: 20% itu untuk pendidikan rakyat, bukan untuk pelatihan pegawai.”
Klausul ini bukan untuk memisahkan, tetapi menegaskan: dana pendidikan harus digunakan sesuai semangat pasal 31 — mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Partisipasi Masyarakat: Donasi Bukan Pungutan
Isu lain yang tak kalah penting ialah partisipasi publik.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sekolah berhati-hati menerima sumbangan karena khawatir dianggap “pungutan liar.” Padahal, niat baik masyarakat untuk membantu sekolah sering kandas oleh ketakutan administratif.
RUU baru mencoba menata ulang hal itu.
“Jika masyarakat ingin berpartisipasi secara sukarela, itu bukan pungutan, tapi bagian dari gotong royong pendidikan,” ujar Dr. Muhdi, Ketua PGRI Jawa Tengah, yang bertindak sebagai moderator FGD.
Poin ini dianggap penting untuk meneguhkan kultur solidaritas pendidikan: negara hadir dengan anggaran, masyarakat melengkapi dengan partisipasi.
5. Menuju Anggaran yang Mendidik
Jika seluruh pasal ini disahkan, peta keuangan pendidikan Indonesia bisa berubah arah.
Kata kuncinya: transparansi, relevansi, dan kolaborasi.
20% bukan lagi sekadar angka konstitusional yang dihafal setiap tahun, melainkan janji yang hidup — agar dana publik berwujud nyata dalam kualitas guru, pembelajaran bermakna, dan lingkungan belajar yang aman.
“Selama ini, 20% itu ada di atas kertas. Ke depan, kita ingin 20% itu terasa di ruang kelas,” tutup Prof. Atip, disambut tepuk tangan panjang dari para peserta.
Sebuah pesan sederhana, tapi dalam:
Anggaran bukan tujuan, melainkan alat untuk mencerdaskan bangsa. Dan 20% itu, akhirnya, kembali ke tempat asalnya — ke guru, ke siswa, ke ruang belajar.(Sapt/Wis)



