
Derapguru.com – Semarang, 22 Oktober 2025
— Anggota Komisi X DPR RI Dr Fikri Faqih, M.M. menegaskan bahwa arah kebijakan pendidikan nasional ke depan mengarah pada penerapan wajib belajar 13 tahun, bukan lagi 9 tahun sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Kebijakan ini, ujarnya, harus dibarengi kesiapan negara dalam pembiayaan, terutama untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga belas tahun ini karena sudah dilaunching. Tidak bisa mundur lagi,” ujar Fikri saat memaparkan tahapan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar PGRI Jawa Tengah di Auditorium Gedung Pusat UPGIRS, Rabu (22/10).
Menurutnya, DPR pada prinsipnya sepakat memperluas akses pendidikan menengah sebagai bagian dari pemerataan kesempatan belajar. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan ini tidak berhenti di tataran simbolik. “Harus ada risiko pembiayaan dan kesiapan implementasi,” lanjutnya. “Kita tidak bisa hanya memperluas wajib belajar tanpa memperluas jangkauan fasilitas dan tenaga pendidik.”
Fikri menyoroti realitas kesenjangan fasilitas di wilayah 3T yang hingga kini belum mendapatkan proporsi perhatian memadai. Ia menekankan perlunya kebijakan afirmatif untuk menjamin keadilan distribusi dana pendidikan. “Daerah 3T masih belum mendapat perhatian cukup dari pemerintah pusat. Itu harus jadi prioritas dalam RUU Sisdiknas,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti mekanisme penganggaran pendidikan nasional yang selama ini belum sepenuhnya transparan dan akuntabel. Ia menyinggung temuan bahwa sebagian dana transfer daerah yang berasal dari alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan justru tidak seluruhnya digunakan untuk sektor pendidikan. “Judulnya dana pendidikan, tapi nomenklaturnya lain. Ada dana transfer umum yang diperkirakan untuk pendidikan, padahal realisasinya tidak langsung ke sekolah,” ungkapnya.
Fikri mendorong agar RUU Sisdiknas secara eksplisit mengatur tata kelola pendanaan berbasis kinerja dan pemerataan, termasuk pengawasan penggunaannya hingga tingkat daerah. Ia juga meminta agar nomenklatur dana transfer pendidikan diatur lebih jelas untuk menghindari penyimpangan alokasi.
Dalam pandangannya, penguatan sistem wajib belajar tidak hanya menyangkut pembiayaan, tetapi juga penataan kelembagaan dan kapasitas daerah. Pemerintah daerah, menurut Fikri, perlu dilibatkan lebih aktif tanpa mengorbankan standar nasional. “Desentralisasi boleh, tapi jangan sampai membuat kualitas pendidikan di daerah tertinggal makin tertinggal,” katanya.
Fikri menambahkan, jika RUU Sisdiknas ingin menjadi tonggak baru sistem pendidikan nasional, maka prinsip keberlanjutan, keadilan, dan pemerataan mutu harus menjadi fondasinya. “Kita tidak ingin punya undang-undang besar tapi pelaksanaannya timpang,” tegasnya.
FGD yang diadakan dalam rangka HUT ke-80 PGRI dan Hari Guru Nasional 2025 ini juga menghadirkan Prof. Atip Latipulhayat (Wamen Kemendikbudristek) dan Prof. Dr. Ravik Karsidi (Dewan Pendidikan Tinggi Provinsi Jawa Tengah) sebagai narasumber, dengan Dr. H. Muhdi, S.H., M.Hum., Ketua PGRI Jawa Tengah, bertindak sebagai moderator. ( Sapt/Wis)



