Cleansing Guru Honorer yang terjadi di DKI Jakarta beberapa waktu lalu telah mengusik nurani kemanusiaan dan empati para guru, tak terkecuali PB PGRI. Dalam upaya mencegah agar hal serupa tidak terjadi lagi, APKS PB PGRI menggelar Dikusi Publik Satu Frekuensi berjudul ”Stop Cleasing! Martabatkan Guru Honor”, melalui Zoom Meeeting, baru-baru ini. Berikut ini catatan-catatan dalam diskusi tersebut yang dirangkum jurnalis derapguru.com, Purwanto:
Dr Sumardiansyah K MPd
(Ketua APKS PB PGRI)
Dr Sumardiansyah mengaku sangat prihatin akan nasib guru honor yang dicleansing di DKI, dan berharap hal ini tidak terjadi di daerah lain.
“Kami mengapresiasi Pemda DKI Jakarta yang cepat merespon dan menyelesaikan masalah dengan baik”, ujarnya.
Dr Sumardiyansyah menyatakan Profesi guru adalah ”officium nobile”, profesi yang mulia dan terhormat, tidak ada perbedaan antara guru honor negeri dan swasta, semua berhak mendapatkan kesejahteraan, perlindungan, penghargaan, karir dan juga peningkatan kompetensi.
Wijaya Winarja MPd
(Moderator)
Dalam pengantarnya mengungkapkan tema diskusi, ”Stop Cleansing! Martabatkan guru honorer”, merupakan tema yang menarik untuk mengupas bersama para narasumber yang kompeten dalam bidangnya. Dikatakan, banyaknya cuitan-cuitan di medsos terkait cleansing guru honor, dan hadirnya persoalan ini menjadikan banyak guru tersakiti. Selain itu timbul juga pertanyaan, adakah kontribusi kepala sekolah atau SKPD terkait persoalan “cleansing”, dan diharapkan ini tidak sampai menjadi bola liar dan dipolitisir.
Prof Dr Masduki SH MM
(Ketua Departemen Pengembangan Profesi PB PGRI)
Prof Masduki mengungkapkan adanya dinamika perubahan yang luar biasa dari era orde baru ke era reformasi ada adigium, reformasi itu bukan merdeka tetap merdeka, tapi merdeka sekali, sehingga perpindahan guru nyaris tak terkendali.
Inilah awal mula data guru menjadi tidak efektif. Prof Masduki mengaku faham betul kondisi di lapangan pada satuan-satuan pendidikan, kepala sekolah menghadapi proses pendidikan tidak boleh berhenti, aspirasi dan keinginan orang tua yang menginginkan putra/putrinya belajar di lembaga pendidikan pemerintah, supaya mereka manjadi anak- anak terbaik, tetapi “the real” pesebaran guru tidak sehat maka, penyelesaian guru tidak bisa hanya diselesaikan diruangan yang dingin.
Moratorium kebijakan awal adalah “Zero Grow” dan menjadi “Mine is ground” berjangka lama, rezim pengembangan SDM tidak tepat, waktu yang lama mengangkat pegawai, dan guru secara alamiah akan ada yang pensiun, disini pemerintah harus hadir dengan ‘Man Powernya’, dengan ‘Planingnya’, melakukan perencanaan guru secara nasional dan matang, harus ada sensus dan pemetaan secara terang menderang.
Dr H Saiful Abdi SH SE MPd
(Kasdisdik Kabupaten Langkat Sumatra Utara)
Dr Saiful Abdi menuturkan mengaku sangat mendukung digelarnya acara tersebut karena ini adalah hal penting terhadap hajat hiduporang banyak. Dikatakan, kebijakan sebagai dasar hukum itu kadang-kadang tidak kita temukan, misalnya contoh kasus saat ini adanya moratorium tidak boleh mengangkat guru honorer lagi, tapi kenyataannya di lapangan setiap tahun bahkan setiap bulan guru itu ada yang pensiun, ada yang meninggal dunia.
“Kalau kita tidak lakukan kebijakan untuk mengangkat guru, walau kadang-kadang melanggar aturan tetapi demi hajat hidup orang banyak itu harus kita lakukan”, ujarnya.
Dijelaskan, ada patron dan regulasi asas hukum yang berbunyi ”solus populi fublication” super melek, artinya hajat hidup orang banyak dan kepentingan orang banyak adalah hukum di atas segalanya.
M Abdul Faqih
(DPP Aliansi Honor Nasional)
M Abdul Faqih mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan itu harus memerdekakan manusia. Merdeka itu bahagia jiwanya dan sehat jasmaninya, tetapi kenyataan sekarang yang merdeka hanya kurikulumnya, guru honor belum merdeka nasibnya, kesejahteraannya pun belum merdeka.
Dalam konteks sekarang guru honerer di Indonesia bukan hanya berbicara tentang gaji yang sangat kecil, jauh di bawah UMR, sehingga tidak heran kalau teman-teman guru sampingannya ngajar sambil ngojek. Banyak guru yang ke sekolah sambil berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan bukan hanya membangun inprastruktur tapi juga suprastruktur juga harus dibangun.
Kalau guru sejahtera suasana batinnya saat mengajar akan asik, datang kesekolah dengan penuh kebahagiaan. Sebaliknya kalau kesejahteraan guru honorer tidak diperhatikan datang kesekolah akan membawa masalah, dan mengajar menjadi tidak profesional. Dan persoalan yang sedang terjadi yaitu ’Cleansing Guru Honorer’ membuat guru khawatir dan gelisah.
“Saat itu kepala sekolah mengangkat guru honor tanpa lapor ke Dinas Pendidikan, menjadikan sekarang ini timbul kegelisahan, semoga semua ini ada jalan keluarnya,” ujar Abdul Faqih.
Dudung Abdul Khodir MPd
(Sekjen PB PGRI)
Dudung Abdul Khodir mengungkapkan adanya tiga masalah, yang harus dilakukan dalam menyelesaikan persoalan guru honorer. Pertama, bagaimana pemerintah mau belajar membuat konsep yang disebut penguatan sistem tata kelola untuk guru, serius tidak mengelolanya!
Kedua, setelah penguatan sistem transformasi tata kelola guru di Indonesia, hal yang harus kita lakukan adalah bagaimana pemerintah menguatakan konsep SDM guru dari hulu sampai hilir, mulai bagaimana kapasitas perguruan tinggi, sarana prasarana LPTK, kualitasnya, kemudian
kesejahteraannya, culturnya, leadershipnya.
“Kalau dipersiapkan dengan benar akan tidak mengalami persoalan-persoalan yang terus beruntun dalam pengembangan SDM”, kata Dudung. Dan ketiga, bagaimana pemerintah mengoptimalkan dan menguatkan yang disebut dengan konsep stuktur dan
fungsi, optimalkan fungsi-fungsi yang harusnya difungsikan, optimalkan berbagai hal yang harus dikuatkan, sehingga semuanya dapat berjalan dengan baik.
Dr Jejen Musfah MA
(Ketua PB PGRI)
Dr Jejen menyatakan, isu Cleansing guru honor di DKI Jakarta memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Ada beberapa hal yang harus menjadi catatan bahwa, apa yang telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan di Jakarta atau didaerah lain, yang sudah terjadi atau yang akan terjadi, menempatkan seolah-olah guru itu tidak mempunyai daya tawar, lemah posisinya dihadapan Dinas pendidikan, atau di hadapan pemerintah pusat.
Ini pelajaran bagi kita semua, bahwa seorang guru harus punya daya tawar, tentu saja di samping guru sendiri, organisasi seperti PGRI bisa menjadi jembatan untuk membangun harkat dan martabat guru, apakah itu guru honorer maupun guru ASN. Sehingga pemerintahdaeran tidak semena- mena memperlakukan profesi guru.
Selanjutnya diingatkan, guru juga harus introfeksi, selama pendidikan S1, S2 bahkan S3, itu mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang profesional, kompeten, dan secepat mungkin melakukan upaya-upaya komunikasi dan konsolidasi, melalui MGMP, KKG, MKKS, PGRI daerah maupun pusat, sehingga apa yang dipelajari betul-betul kita terapkan azas prinsip, komptensi profesional, jangan mau jadi korban sistem.
Apa yang telah diajarkan di fakultas menjadi guru yang profesional hanya dalam konteks belajar di kelas, tapi juga bagaimana kita dapat memenuhi apa yang memang sudah menjadi hak kita para guru, betul-betul memperjuangkan hak kita. Dengan cara-cara yang baik, sehingga martabat dan marwah guru terjaga.
Catur Nurrochman Oktavian
(Wasekjen PB PGRI)
Catur Nurrochman Oktavian mengaku prihatin dengan “Cleansing Guru Honorer” yang menjadikan guru sebagai objek dan menjadi korban dari sebuah kebijakan.
“Ibaratnya habis manis sepah dibuang”, ujarnya.
Guru honorer yang selama ini mengisi kekosongan ruang-ruang kelas, untuk melayani pendidikan, harus menjadi korban dikarenakan kesalahan-kesalahan kebijakan. Setelah guru-guru honor ini mengabdi bukannya diberi kepastian status kesejahteraan tetapi malah justru dengan mudah di berhentikan atas nama peraturan.
Catur mengaku sepakat perlunya langkah yang progresif, bahkan extra ordinary, untuk menyelesaikan guru honor. Meskipun, saat ini setelah publik berekasi telah dikembalikan lagi. Dan ini menurut Catur akan muncul lagi, k a r e arena itu langkah jitu yang harus dilakukan, menurut Catur, dalam perekrutan masalah guru ini harus dikeluarkan dari tenaga-tenaga lainnya, sesuai dengan amanat Kongres, yakni adanya badan guru nasional.
“Kami mendorong pemerintah baru nanti akan mengkaji, wacana pembentukan badan guru
Nasional, karena dengan ini ada menejemen satu pintu, untuk perekrutan masalah guru, dan peningkatan kompetensi guru”, kata Catur.
Diingatkan, jangan mengejar rangking tetapi tutupi dulu masalah guru ini, karena tanpa adanya kecukupan guru pendidikan tidak akan berhasil, motor terpenting pendidikan adalah guru.
“Jangan malah gonta ganti kuikulum, mau kurikulum sehebat apapun jika tidak ada guru yang mengajar di kelas, status guru tidak jelas, kebutuhanya tidak terpenuhi, mustahil kurikulum itu akan berjalan sempurna”, tegas Catu
Hamdani
(Peserta dari PGRI Kabupaten Bekasi)
Hamdani mengungkapkan tentang kegiatan PGRI Kab Bekasi dan Pemerintah Kab. Bekasi yang memverifikasi dan memverval ulang Honorer. Ketika sekolah akan mengajukan honorer masuk dapodik tertera persyaratan, serendah-rendahnya ditanda tangani oleh kepala dinas pendidikan, sementara yang terjadi kepala dinas jarang mau menandatangani itu.
“Saya minta Pengurus Besar PGRI bersama-sama mengontrol bareng dari bawah dan besilaturahmi kepada pemerintah-pemerintah daerah”, kata Hamdani.
Abdul Rahman Santoso
(Guru honorer)
Abdul Rahman Santoso mengakui peran aktif PGRI terasa oleh rekan-rekan honorer. Namun ia berharap kedepan peaan itu bisa lebih meningkat. Selain mengungkapkan persoloalan lain tentang persolan guru honorer, Abdul Rahman pun menanyakan bagaimana bentuk penghargaan bagi rekan-rekan honorer yang sudah berjuang keras, sudah mengabdi berpuluh-puluh tahun dan sudah hampir pensiun. (pur)