
SEMARANG, derapguru.com — Komunitas belajar atau yang lebih sering disebut kombel merupakan wadah bagi guru dan tenaga kependidikan (GTK) untuk belajar bersama dan berkolaborasi secara terjadwal dan berkelanjutan dengan tujuan yang jelas serta terukur untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga berdampak pada hasil belajar siswa.
Keberadaan Komunitas Belajar ini didukung dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 4263 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Komunitas Belajar.
Dengan adanya kombel, diharapkan kesenjangan kompetensi antar GTK, khususnya guru dapat diminimalisir, sehingga akan memberikan dampak pada pemberian kualitas pengalaman belajar yang sama, siapapun pendidiknya.
Menurut Noralia Purwa Yunita MPd, Wakil Kepala SMPN 8 Semarang, adanya Komunitas Belajar merupakan kebijakan yang baik dalam dunia Pendidikan, karena komunitas ini sangat memberikan dampak besar bagi profesionalisme guru dan kemajuan sekolah. Dijelaskan, melalui komunitas belajar ini guru dapat memperoleh banyak pengalaman, informasi, praktik baik pembelajaran dari guru lain ataupun sekolah lain sehingga semakin memperkaya keterampilannya dalam kegiatan belajar mengajar.
“Tentunya segala praktik baik yang sudah didapatkan dari kegiatan komunitas belajar tetap disesuaikan dengan karakter sekolah dan siswa,” ujarnya.
Noralia juga menyatakan kegiatan P5 adalah kegiatan yang baik, meskipun diakui ada banyak pro kontra terkait P5 ini, namun kegiatan ini memberikan dampak positif bagi siswa. Melalui kegiatan P5 ini siswa diajak untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya, berpikir kritis mencari solusi dari permasalahan yang ada di sekitarnya, melatih public speaking siswa, melatih kolaborasi siswa dengan pihak lain, meningkatkan kreativitas siswa yang memang hal tersebut sangat dibutuhkan bagi kompetensi lulusan saat ini.
“Namun, ada masukannya, yakni perlu diberikan pemahaman lebih mendalam baik untuk sekolah, guru dan wali murid, bahwa P5 bukan kegiatan yang menghabiskan banyak dana dan bagaimana sebenarnya pelaksanaannya agar tidak terjadi salah kaprah,” jelas Noralia.
Hal yang perlu terus dilakukan adalah mengintegrasikan karakter dalam pembelajaran. Melalui kegiatan ini guru dapat menanamkan nilai-nilai moral, nasionalisme, dan integritas pada siswa sejak dini. Selain itu, penting untuk membangun generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter.
Selanjutnya, Asesmen Nasional (AN), menurut guru yang hobi menulis dan telah menghasilkan 18 buku ini perlu dilanjutkan. Karena kegiatan ini fokus pada pengukuran kompetensi literasi, numerasi, dan karakter siswa, bukan sekadar hafalan materi.
Assesmen Nasional juga memberi gambaran lebih objektif tentang kualitas pendidikan di satuan pendidikan, sehingga bisa jadi bahan evaluasi untuk perbaikan.
Program yang perlu dilanjutnya berikutnya program Pendidikan Inklusif. Karena program ini dapat memastikan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan akses pendidikan yang setara dan mewujudkan prinsip keadilan sosial di bidang pendidikan. Namun yang perlu dikaji kembali adalah keterampilan para guru di sekolah umum untuk memberikan pelayanan bagi siswa inklusi.
“Alangkah baiknya jika disediakan guru pembimbing khusus di sekolah umum untuk membantu para guru kelas dan guru mapel memberikan pelayanan yang maksimal pada siswa inklusi. Selain itu pelatihan untuk guru kelas tentang implementasi pendidikan inklusi juga lebih diperbanyak,” urainya.
Kemudian Program yang baik berikutnya adalah program Literasi dan Numerasi. Program ini menurut Purwa Yunita dapat mengatasi rendahnya kemampuan literasi dasar dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan hasil PISA. Program ini penting untuk tetap berjalan karena literasi dan numerasi adalah fondasi untuk pembelajaran semua mata pelajaran.
Tantangan Guru
Ditanya tentang tantangan guru saat ini, Noralia menyebutkan hal, diantaranya adalah adaptasi teknologi. Menurutnya, guru harus terus belajar dan beradaptasi dengan teknologi baru, seperti AI, big data, dan platform digital. Namun, diakui tidak semua guru punya akses pelatihan, memiliki perangkat teknologi yang memadai, dan banyak guru dalam usia tidak lagi muda yang memiliki keterbatasan kemampuan beradaptasi dengan teknologi.
Guru juga harus mengubah mindset pembelajaran dari “transfer ilmu” menjadi “membangun kompetensi.” Ini masih butuh waktu dan usaha besar karena banyak guru masih berfokus pada pembelajaran lampau yang hanya sekedar hafalan.
Noralia juga menyatakan ada kesenjangan besar antara sekolah di kota besar dan daerah 3T, dari segi fasilitas dan kebutuhan pelatihan guru untuk meningkatkan profesionalismenya. Selain itu banyak guru masih dibebani administrasi yang berat (laporan, dokumen, dan birokrasi), sehingga waktu untuk inovasi mengajar menjadi berkurang, layanan psikologis ke siswa juga kurang maksimal.
Diungkapkan juga, siswa sekarang (generasi Alpha) sangat visual, cepat bosan, dan lebih suka pengalaman belajar yang aktif dan menyenangkan sehingga para guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran.
“Tapi lagi-lagi, karena beban administrasi yang begitu banyak terkadang waktu guru sudah habis untuk penyelesaian administrasi dan urusan birokrasi lain sehingga inovasi pembelajaran tidak dilakukan,” tambahnya.
Tantangan berikutnya adalah dampak era globalisasi, dan akses teknologi yang begitu mudah, serta kemampuan siswa yang cepat beradaptasi dengan teknologi yang tidak diimbangi dengan pendampingan maksimal oleh orang tua. Hal ini terkadang memberikan dampak negatif bagi karakter siswa.
“Tontonan yang kurang mendidik, bacaan yang tidak layak, informasi yang belum tentu kebenarannya, sangat mudah diakses oleh siswa sekarang tanpa diimbangi dengan pendampingan dan edukasi dari keluarga atau orang dewasa di sekitarnya sehingga hal ini memberikan dampak negatif bagi karakter siswa, ujar Noralia mengakhiri penjelasannya. (pur)