
Semarang, Rabu, 22 Oktober 2025 — Fokus diskusi dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam Perspektif Guru dan Dosen Indonesia” yang digelar oleh PGRI Jawa Tengah di Auditorium Gedung Pusat UPGRIS lantai 7 mengerucut pada satu isu fundamental: pemerataan akses dan mutu pendidikan.
Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian HUT ke-80 PGRI dan Hari Guru Nasional 2025, menghadirkan pembicara kunci dari kalangan akademisi dan legislatif. Diskusi dipandu oleh Dr. H. Muhdi, S.H., M.Hum., Ketua PGRI Jawa Tengah sekaligus Wakil Ketua Komite III DPD RI, dengan narasumber utama Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LLM., Ph.D. (Wamen Dikdasmen Kemendikbudristek), Dr. H. Abdul Fikri Fakih, M.M. (Anggota Komisi X DPR RI), dan Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. (Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah).
Dalam forum tersebut, Prof. Ravik menyampaikan pandangan tajam dan sistematis mengenai arah baru pendidikan nasional. Ia menyoroti perlunya revisi pasal 11 dan 49 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas agar tidak berhenti pada jargon pemerataan akses, tetapi menjamin pemerataan mutu.
“Jaminan pemenuhan hak rakyat terhadap layanan pendidikan bermutu perlu ditegaskan, bukan sekadar angka partisipasi,” ujarnya di hadapan ratusan peserta yang hadir secara langsung maupun daring.
Menurutnya, pasal 11 tentang wajib belajar perlu diperluas secara substantif, bukan hanya menambah durasi menjadi 13 tahun, tetapi memastikan setiap anak Indonesia memperoleh kualitas pembelajaran yang setara di mana pun mereka berada. Ia menilai, dalam kondisi saat ini, kesenjangan mutu masih terasa antara sekolah di perkotaan dan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
20 Persen Anggaran Pendidikan Harus Nyata
Isu kedua yang disorot Prof. Ravik adalah alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD yang menurutnya sering “menyimpang arah” melalui kebijakan discretion spending—pos belanja non-pendidikan yang dikategorikan seolah-olah untuk pendidikan. Ia menegaskan, jika anggaran itu benar-benar terserap untuk pendidikan murni, kemajuan bangsa hanya tinggal soal waktu.
“Kalau 20 persen itu sungguh-sungguh untuk pendidikan, Indonesia akan cepat maju. Yang memperjuangkannya insyaallah masuk surga,” ucapnya disambut tawa dan tepuk tangan hadirin.
Prof. Ravik menambahkan, penggunaan dana pendidikan harus disertai sistem pengawasan yang akuntabel agar tidak bocor di jalur birokrasi. Ia menyinggung masih banyak sekolah dasar di daerah yang kekurangan sarana dasar seperti laboratorium dan bahkan toilet layak, sebuah ironi di tengah jargon “revolusi pendidikan digital”.
Profesionalisme Guru dan Pemerataan Mutu
Lebih jauh, Ravik menekankan pentingnya memosisikan guru sebagai profesi otonom, bukan sekadar pelaksana kurikulum. Dalam pandangannya, ruang kelas adalah domain profesional guru sebagaimana dokter di ruang praktiknya.
“Kelas itu hak guru. Kepala sekolah atau dinas tidak boleh intervensi. Kurikulum nasional cukup memuat kerangka besar; operasionalnya biarlah menjadi kreativitas guru,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa pengembangan mutu tidak akan tercapai bila guru terus dibebani administrasi dan birokrasi tanpa ruang inovasi. Guru, katanya, harus diberi hak untuk berimprovisasi dalam pembelajaran sesuai kebutuhan peserta didik di kelasnya.
Prof. Ravik juga menyoroti pentingnya digitalisasi pendidikan tinggi. Ia mengingatkan bahwa universitas siber seperti Cyber Asia dan Insansita belum memiliki payung hukum jelas. Padahal, dunia pendidikan global telah bergerak cepat ke arah digital higher education. “Kita perlu payung hukum eksplisit agar perguruan tinggi digital diakui dan dikembangkan, bukan hanya sekadar proyek eksperimental,” katanya.
Kesejahteraan dan Tanggung Jawab Negara
Di akhir sesi, Prof. Ravik menekankan bahwa mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan guru. Ia mengusulkan agar RUU Sisdiknas menjamin tunjangan berbasis wilayah serta perlindungan hukum bagi guru agar tidak mudah dikriminalisasi. Ia juga menolak konsep fluktuatif dalam pembayaran tunjangan profesi.
“Kalau sudah lulus PPG, harus otomatis berhak atas tunjangan profesi. Jangan tergantung birokrasi daerah. Hak itu melekat sebagaimana dokter yang telah sah berpraktik.”
Menurutnya, perjuangan PGRI dan seluruh tenaga pendidik harus diarahkan untuk memastikan bahwa UU Sisdiknas yang baru tidak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi menjadi jaminan martabat profesi guru dan mutu pendidikan bangsa.
FGD ini menjadi bukti nyata bahwa PGRI Jawa Tengah berperan aktif bukan hanya sebagai organisasi advokasi, tetapi juga sebagai mitra strategis negara dalam merumuskan kebijakan pendidikan berbasis suara guru dan dosen di lapangan. (Sapt/Wis)




