SEMARANG – Plagiasi telah merambah segala lini. Tak hanya wilayah ilmiah yang dikepung masalah plagiasi. Dalam bidang sastra yang dilindungi oleh licentia poetica dan dulce et utile ternyata juga tidak lepas dengan masalah plagiasi. Fakta tersebut diungkap oleh Purwono Nugroho Adi, pegiat kerja budaya yang terafiliasi dengan komunitas Open Mind Semarang, saat mengisi Seminar Nasional “Membahas Tuntas Plagiarisme”, Selasa 20 September 2022.
“Mendeteksi plagiasi bidang sastra tidak mudah. Dibutuhkan kejelian dan ketelitian luar biasa,” tutur Purwono dalam kegiatan yang digelar oleh Hima Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UPGRIS tersebut.
Lebih lanjut Purwono menuturkan masalah plagiasi dalam bidang sastra sebenarnya sangat marak dan banyak terjadi. Hanya saja tidak banyak orang yang fokus untuk melihat masalah-masalah ini. Plagiasi bidang sastra tidak hanya terjadi pada penulis-penulis pemula, sastrawan-sastrawan besar pun banyak yang terkena kasus plagiasi.
“Di level internasional, pernah terjadi geger plagiasi dari karya ‘Birdie and His Fairy Friends’ karya Margaret T Canby’s yang dijiplak oleh Helen Keller dalam ‘The Frost King’. Di level nasional juga ada, yakni plagiasi karya Archibald Macleish yang berjudul ‘The Young Dead Soldiers Do Not Speak’ oleh Chairil Anwar dalam karya ‘Krawang-Bekasi’,” tutur Purwono.
Purwono menambahkan, kasus yang agak kekinian adalah plagiasi penulis senior AS Laksana dengan karya “Bidadari Bunga Sepatu” yang ternyata adalah tulisan Adhe Afrilia. Konon AS Laksana menyangkal dengan mengatakan dirinya memang sengaja untuk menguji kejelian para redaktur.
Bahkan, tahun 2015 di Semarang juga pernah ada. Komunitas Sastra Semarang menemukan plagiasi dalam karya “Rayap-Rayap. Dugaannya, puisi ‘Rayap-Rayap’ karya A melakukan ’borrowing’ ideas (meminjam idea) atau justru full copas dari karya orang lain,” tutur Purwono sembari menjelaskan ada tiga cara untuk mendeteksi plagiasi sastra, yakni dengan melihat side by side, inline dan mark up sebuah karya. (za)