PROGRAM Happy Schooling and Sustainability in Education (Mewujudkan Pendidikan Yang Bahagia dan Berkelanjutan) adalah tema besar yang diusung dalam ASEAN Council of Teacher+Korea (ACT+1) pada seri ke-38. Mengapa kali ini mengangkat kata “kebahagiaan”? Apakah ada pengaruh besar kebahagiaan terhadap keberhasilan dunia pendidikan?
Prof Vicharn Panich seorang ahli kesehatan dari Universitas Teknologi Suranaree Thailand melakukan sebuah risert tentang hubungan antara kebahagiaan dengan keberhasilan pendidikan. Dia mengatakan bukti dari penelitian menunjukkan bahwa baik kebahagiaan maupun ketidakbahagiaan berkontribusi pada pembelajaran dan pertumbuhan anak. Kebahagiaan memiliki kekuatan yang signifikan dalam mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Berikut adalah beberapa cara di mana kebahagiaan dapat berperan penting dalam proses belajar sepanjang hayat; 1) Motivasi dan Semangat Belajar: Kebahagiaan dapat meningkatkan motivasi dan semangat seseorang untuk terus belajar. Ketika seseorang merasa bahagia, mereka lebih cenderung untuk mengejar pengetahuan baru dan keterampilan yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, 2) Kesehatan Mental dan Fisik: Kebahagiaan berkontribusi pada kesehatan mental dan fisik yang lebih baik, yang pada gilirannya mendukung kemampuan seseorang untuk belajar. Orang yang bahagia cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan lebih mampu menghadapi tantangan belajar; 3) Dukungan Sosial: Kebahagiaan sering kali terkait dengan dukungan sosial yang kuat. Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas dapat memberikan dorongan emosional dan praktis yang diperlukan untuk terus belajar sepanjang hidup; 4) Kreativitas dan Inovasi: Kebahagiaan dapat merangsang kreativitas dan inovasi. Orang yang bahagia lebih mungkin untuk berpikir kreatif dan menemukan solusi baru untuk masalah, yang merupakan aspek penting dalam proses belajar seumur hidup; 6) Kepuasan dan Keterlibatan: Kebahagiaan meningkatkan kepuasan dan keterlibatan dalam aktivitas belajar. Ketika seseorang merasa puas dan terlibat, mereka lebih mungkin untuk terus belajar dan berkembang sepanjang hidup mereka Ada banyak cara untuk mewujudkan pendidikan yang membahagiakan.
Sebagaimana telah dilaksanakan di Denmark, untuk mewujudkan pendidikan yang dimaksud harus melaksanakan beberapa prinsip, antara lain: 1) Pendidikan harus berpusat pada siswa; 2) Belajar seasyik bermain; 3) Memperhatikan perkembangan secara Holistic; 4) Praktik atau mengalami langsung; 5) Lingkungan belajar yang positif.
Prinsip-prinsip itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: belajar di kelas, bermain, pembelajaran proyek, mengintegrasikan dengan seni dan kerajinan tangan, pembelajaran kooperatif, menghargai perbedaan sebagainya. Bagaimana peran PGRI dalam mewujudkan pendidikan yang bahagia dan berkelanjutan? Sebenarnya secara faktual guru-guru di Indonesia sudah dididik dan dilatih berbagai prinsip-prinsip pembelajaran yang menjadi pembahasan di ACT+1 di Bangkok. Melalui berbagai bimtek, pelatihan, workshop dengan berbagai program yang spektakuler mulai dari CBSA, PAKEM dan yang paling akhir adalah dengan PMM (Platform Merdeka Mengajar). Bahkan dalam program PPG bagi para calon guru sebagain besar materi pendidikannya adalah bagaimana mendesain pembelajaran yang menyenangkan.
Dilihat dari Kualitas Sumber Daya Manusia guru di Indonesia sebagian besar sangat mampu melaksanakan model-model pembelajaran semacam itu. Hal ini terlihat dari setiap kali dilaksanakan pendampingan, monitoring sampai evaluasi/penilaian sebagaian guru bisa melaksanakan dengan baik.
Yang menjadi permasalahan paling besar din Indonesia adalah masalah konsistensi. Kebanyakan guru tidak melaksanakan secara terus menerus di sekolah apa yang telah menjadi pengetahuan dan keterampilannya sebagaimana pada saat mereka pendidikdan pelatihan. Hal inilah yang harus menjadi tugas PGRI sebagai organisasi profesi dalam meningkatkan pelayanan guru kepada masyarakat. Apa saja yang bisa dilakukan oleh guru dalam menjamin pelaksanaan pendidikan yang membahagiakan?
1. Membentu lingkungan belajar yang kondusif Tugas ini sangat berat, namun perlu dicoba untuk dilakukan. Kenapa demikian? Kegagalan banyak banyak guru dalam mengimplementasikan ilmu dan keterampilan di kelas adalah dikarenakan lingkungan sekolah yang tidak mendukung. Pelemahan terhadap guru untuk terus melaksanakan hasil pelatihannya bukan berasal dari beratnya tugas, namun lebih banyak karena bullying dari teman-teman guru senior. Ejekan dan komentar sinis terus-menerus saat guru akan melaksanakan sesuai dengan seharisnya menjadi hambatan luar biasa besar. Diperlukan keteguhan dan mentalbaja untuk terus dapat istiqomah menjalankan tugas profesional. Hal ini jarang terindikasi oleh pemerintah, namun diakui oleh semua guru yang ada di Indonesia. Jika PGRI ingin menjadi solusi terhadap masalah ini, PGRI jangan ikut-ikutan mengadakan pelatihan semacam PAKEM, PMM, dan pelatihan2 lain untuk meningkatkan kompetensi guru. Yang harus diambil oleh PGRI adalah pelatihan mindset dan mental guru sehingga terjadi lingkungan yang kondusif di semua sekolah. Ambil contoh PGRI menadakan bimtek: membentuk mental positif, motivasi kerja, quantum doa, emotional quotion, team building dan sebagainya.
2. Menegakkan kode etik guru. Semua organisasi profesi pasti memiliki kode etik. Setiap anggota harus mentaati kode etik supaya tidak mencoreng nama baik organisasi profesi. Dengan demikian kode etik sebenarnya untuk menjaga harkat, martabat dan kewibawaan organisasi. Kode etik diperlukan juga untuk terus menjaga profesionalisme yang istiqomah para anggotanya. Dalam menegakkan kode etik organisasi harus memiliki ketegasan terhadap semua anggota yang melakukan pelanggaran etik, mulai dari sanksi peringatan lisan, peringatan tertulis bahkan mungkin sampai pemecatan dari organisasi profesi. Bahkan dibeberapa organisasi profesi yang lainmemiliki kewenangan dalam mengeluarkan ijin operasional atau ijin praktik seperti misal Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia dan sebagainya.
Namun demikian PGRI nampaknya masih gamang dalam menerapkan sanksi terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran etik. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap profesionalisme kerja para guru. Mungkinkah PGRI bisa memiliki kewenangan dalam mengeluarkan ijin praktik mengajar sebagaimana organisasi profesi lainnya?
3. Guru harus melek hukum. Dalam menjalankan tugas mendidik guru sering kali terjebak pada emosi yang tidak terkontrol setiap kali menghadapi anak didik yang nakal atau bandel. Masih banyak guru yang kurang pandai memainkan peraturan di kelas atau hukum di masyarakat. Guru sering kali kalah cerdik dengan masyarakat soal hukum. Misal saja saat guru menjewer anak atau bahkan memukul karena emosi anak didiknya bendel, walau tak seberapa sakit masyarakat lebih cerdik memainkan hukum untuk “membalas” guru. Saat anaknya dipukul orang tua segera mencari bukti baik berupa visum atau video untuk dijadikan alat bukti sebagai bahan laporan ke polisi.
Nampaknya PGRI perlu mengajarkan kepada para guru bagaimana bermain hukum termasuk dalam mendisiplinkan anak didik. Lihat saja ada beberapa kasus justru siswa yang melakukan kekerasan kepada guru, baik kekerasan fisik maupun verbal. Namun sang guru tidak memainkan sebagaimana kecerdikan masyarakat. Saya pikir bolehlah guru pintar dalam memainkan aturan-aturan tersebut. Jika guru mendapai perlakukan “tidak menyenangkan” bolehlah kapan-kapan melaporkan siswa kepada polisi….. Bisa dengan delik aduan: mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, penganiayaan, dan sebagainya. Tapi dengan syarat guru harus sabar dan cerdas. Sehingga tidak selamanya guru akan menjadi korban dari cerdiknya masyarakat yang tidak kooperatif mendidik anaknya.
4. Memberikan perlindungan hukum. PGRI hukumnya wajib melindungi anggotanya dalam menjalankan tugas pendidikan. Guru tidak akan bisa menghadir pendidikan yang menyenangkan, jika kondisi gurunya sendiri tidak menyenangkan dan penuh tekanan. Kondisi tertekan yang dialami guru hanya akan memunculkan sikap apatis terhadap pelaksanaan tugas. Tidak peduli terhadap anak didik, pembiaran perilaku negatif, dan asal menyelesaikan tugas tanpa menghadirkan cinta dalam menjalankan tugas.
Sunarto, M.Pd
Sekretaris PGRI Kabupaten Banjarnegara