SEMARANG, derapguru.com – Rendahnya usulan daerah untuk pemenuhan kekurangan guru ternyata dipicu oleh miskomunikasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat soal penggajian PPPK Guru.
Pemerintah daerah beranggapan sistem penggajian PPPK nantinya akan dibebankan pada pemerintah daerah sehingga dikhawatirkan akan membebani APBD.
Adanya miskomunikasi tersebut disampaikan oleh Ketua PGRI Provinsi Jawa Tengah, Dr Muhdi, dalam acara “Ngrobrus di UP Radio Semarang, Kamis 8 Desember 2022. Dr Muhdi meminta pemerintah lebih komunikatif lagi dalam menyampaikan informasi sehingga tidak berdampak terhadap terjadinya miskomunikasi.
“Ada miskomunikasi antara daerah dan pusat. Daerah beranggapan gaji PPPK nanti akan dibebankan daerah sehingga mereka sangat hati-hati dalam mengajukan usulan formasi,” urai Dr Muhdi.
Padahal, lanjut Dr Muhdi, sistem penggajian PPPK Guru sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab daerah, melainkan tanggung jawab pusat. Hanya saja, dana penggajian itu dititipkan ke daerah melalui mekanisme DAU (Dana Alokasi Umum, red).
“Jadi yang menggaji tetap pemerintah pusat, tapi yang mengucurkan adalah pemerintah daerah. Dananya ada, malah sudah dikirimkan pemerintah, tapi terjadi miskomunikasi,” tutur Dr Muhdi.
Dalam acara tersebut, Dr Muhdi juga menyampaikan 3 kebijakan pemerintah untuk proses akselerasi ASN PPPK Guru. Pertama, pemerintah pusat akan menutup kekurangan semua formasi guru jika sampai maret 2023 usulan daerah belum memenuhinya.
“Kedua, mengangkat guru yang lolos passing grade pada tahun 2021, untuk langsung verifikasi dan penempatan di sekolah-sekolah yang formasinya kosong. Sedang ketiga, guru-guru honorer yang belum lolos passing grade tidak boleh digeser oleh guru yang lolos passing grade. Artinya tidak akan ada lagi guru honorer yang diberhentikan karena digantikan guru baru yang lolos passing grade,” tandas Dr Muhdi. (za)