
Derapguru.com – Semarang.
“Menghormati suatu profesi, bukan hanya sekadar menilai kinerja saja”, tandas Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, saat mengungkapkan  pandangannya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam Perspektif Guru dan Dosen Indonesia’, yang berlangsung di Menara Kampus Pusat Lt.7 UPGRIS, Rabu, 22 Oktober 2025.
Dalam paparannya yang memikat, Prof. Ravik menegaskan, menghormati profesi, bukan sekadar menilai kinerjanya saja, tetapi menurutnya, profesi guru dan dosen harus ditempatkan sebagai profesi bermartabat, bukan sekadar pekerja administratif.
Ia mengkritisi praktik birokrasi yang terlalu teknis dalam menilai guru, seolah profesi pendidik diukur hanya lewat jam mengajar dan laporan. “Guru itu bukan tukang mencatat nilai atau mengisi form daring. Guru adalah profesional yang menuntun akal dan hati murid. Jangan perlakukan mereka seperti pegawai teknis,” ujarnya tegas.
Ia mengusulkan agar RUU Guru dan Dosen yang tengah dibahas nantinya memasukkan pasal eksplisit tentang penghormatan profesi dan perlindungan hukum bagi pendidik, setara dengan profesi dokter atau advokat.
“Kalau dokter punya majelis kehormatan profesi, guru juga berhak punya pengadilan profesi. Guru butuh ruang aman untuk mendidik tanpa ketakutan dikriminalisasi.”

Prof. Ravik juga menyoroti persoalan ketimpangan kesejahteraan antarwilayah yang masih terjadi di Indonesia. Ia mengusulkan tunjangan berbasis wilayah sebagai bentuk afirmasi bagi guru yang bertugas di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan.
“Ada guru yang harus naik perahu setiap hari, ada yang jalan kaki puluhan kilometer. Mereka bukan hanya butuh semangat, tapi juga penghargaan nyata,” katanya.
Menurutnya, mekanisme penentuan tunjangan wilayah bisa melibatkan gubernur atau pemerintah daerah sebagai penanggung jawab, tanpa mengurangi porsi APBN. Prinsipnya, kata Ravik, keadilan fiskal harus hadir dalam dunia pendidikan.
“Syukur kalau dibiayai APBN. Tapi kalau APBN terbatas, APBD bisa menjadi sumber afirmasi bagi mereka yang bertugas di wilayah sulit.”
Otomatisasi Tunjangan Profesi dan Pengakuan Masa Kerja
Isu lain yang disoroti adalah ketidakpastian tunjangan profesi guru setelah lulus PPG. Menurut Prof. Ravik, hak tersebut seharusnya otomatis, tanpa perlu menunggu verifikasi berlapis dari birokrasi daerah.
“Kalau sudah lulus PPG dan bersertifikat, tunjangan profesi itu harus langsung jalan. Jangan tergantung sistem administrasi kabupaten. Profesi itu melekat pada kompetensi, bukan domisili.”
Ia juga menyinggung banyaknya kasus guru swasta yang setelah diangkat menjadi ASN harus memulai masa kerja dari nol, meskipun sudah puluhan tahun mengajar. Ia menilai kebijakan ini tidak manusiawi dan harus diperbaiki melalui RUU Sisdiknas.
“Ada guru yang sudah mengabdi 20 tahun, tapi setelah diangkat PNS, masa kerjanya dihitung nol. Itu tidak adil. Pengabdian adalah nilai moral, bukan sekadar status hukum.”
Dalam bagian akhir, Prof. Ravik menegaskan bahwa beban kerja guru tidak boleh diukur hanya dari jam mengajar. Aktivitas lain seperti membimbing siswa, mengembangkan media belajar, melakukan riset kecil, dan membina karakter juga merupakan bagian integral dari profesi.
“Guru bukan robot pengajar. Ia perancang masa depan. Maka kegiatan non-mengajar harus diakui sebagai kinerja profesional,” tandasnya.
Ia mengusulkan agar ketentuan dalam Permendikbud tentang Beban Kerja Guru (BKG) dinaikkan derajat hukumnya dan dimasukkan ke dalam undang-undang, agar memiliki kekuatan hukum yang lebih pasti.
“RUU Sisdiknas harus mengakui bahwa tugas guru mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian—tidak beda dengan dosen.”
Menutup paparannya, Prof. Ravik menyampaikan refleksi mendalam tentang makna perjuangan guru. Ia mengingat kisah masa kecilnya bersama gurunya, almarhum Pak Kamsidin, yang selalu menepuk pundaknya dan berkata, “Kamu harus berani jadi orang jujur dan berguna.” Kenangan itu, katanya, menjadi api moral yang membimbingnya hingga kini.
“Guru adalah pelita yang tak meminta cahaya. Kalau negara menghargai mereka, bangsa ini tak akan kehilangan arah,” ujarnya dengan suara bergetar.
Dari ruangan itu, bergema satu pesan kuat; martabat guru adalah martabat bangsa.
Kegiatan FGD yang dihelat oleh PGRI Provinsi Jawa Tengah ini merupakan bagian dari peringatan HUT ke-80 PGRI dan Hari Guru Nasional 2025, menghadirkan tokoh-tokoh pendidikan nasional seperti Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LLM., Ph.D. (Wamen Dikdasmen Kemendikbudristek), Dr. H. Abdul Fikri Fakih, M.M. (Anggota Komisi X DPR RI), dan Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. sebagai narasumber, serta dimoderatori oleh Dr. H. Muhdi, S.H., M.Hum., Ketua PGRI Jawa Tengah sekaligus Wakil Ketua Komite III DPD RI. (Sapt/Wis)




