Oleh Purwanto
“Binatang buas yang hidup di hutan saja dilindungi Undang-undang, Mengapa guru yang bertugas mencerdaskan anak-anak bangsa tak dilindungi UU?” (Taruna SH, dalam Kongres XVIII PGRI, 1998)
Ungkapan bernada provokatif itu muncul dari seorang tokoh PGRI Jateng, Taruna (alm) saat berbicara dalam Kongres XVIII PGRI di Bandung, Jawa Barat tahun 1998. Ungkapan itu merupakan bentuk keprihatinan karena guru yang memiliki peran penting dalam mencerdaskan anak-anak bangsa serta membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas tak dilindungi UU.
Taruna yang saat itu juga sebagai dosen FH UNDIP dan Rektor IKIP PGRI Semarang menyatakan pendidikan bermutu hanya bisa dilakukan oleh guru yang bermutu, yaitu guru yang profesional, sejahtera, bermartabat, dan terlindungi. “Karena itu guru harus dilindungi dengan UU agar hak-hak guru terpenuhi dan terlindungi”, ujar Taruna saat itu.
Sejak saat itu perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi guru terus dilakukan melalui berbagai cara dan melewati masa pemerintah presiden BJ Habibi, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, dan baru lahir UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada masa pemerintahan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ( SBY).
Lahirnya UU tersebut memberikan dampak besar terwujudnya guru profesional, sejahtera, bermartabat dan dan terlindungi. Banyak guru telah menikmati kesejahteraan dan memiliki kesempatan luas meningkatkan mutu profesinya.
Perlindungan Guru
Untuk memberikan perlindungan kepada guru, UU nomor 14 tahun 2005 mengamanatkan, bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Perlindungan kepada guru itu meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuannya agar guru tenang dalam melaksanakan tugas dan mampu bekerja dengan baik.
Selanjutnya dalam PP 74 tahun 2008 Tentang Guru, diatur pula kewenangan guru dalam Pasal 39; (1) Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan
peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang
berada di bawah kewenangannya.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik Guru, dan peraturan perundang-undangan. (3) Pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada
di luar kewenangan Guru, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan.
(4) Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masih terkait dengan kewenangan guru, Yurisprudensi MA Nomor 1554 K/PID/2013 menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya. Guru juga tidak perlu takut memberikan hukuman kepada murid asalkan hukuman yang diberikan bersifat mendidik.
Selanjutnya dalam upaya melindungi guru, PGRI juga telah menanda tangani nota kesepahaman (MoU) dengan Polri agar kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan guru dapat dikoordinasikan terlebih dahulu dengan PGRI sebelum dilanjutkan pada proses hukum. Ini tak lain untuk menjaga marwah guru dan menempatkan guru sebagai profesi yang dilindungi UU.
Kriminalisasi Guru
Meski peraturan perundangan telah mengamanatkan adanya hak dan kesejahteraan serta perlindungan kepada guru, tetapi banyak guru belum mendapat perlakuan yang adil. Selain hak dan kesejahteraan yang belum terpenuhi, banyak guru harus menghadapi persoalan hukum.
Terkait dengan tugas profesinya, banyak guru merasa “dikriminalisasi”. Dari berbagai sumber ada beberapa contoh kasus kriminalisasi itu; Pertama, Sambudi, guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo, yang diperkarakan oleh orangtua murid pada 2016. Kala itu Sambudi mencubit murid berinisial SS karena tak melaksanakan kegiatan salat berjamaah di sekolah. Orangtua SS tidak terima, dan melaporkan Sambudi ke Polsek Balongbendo, Sidoarjo. Singkat cerita, dalam persidangan pada Kamis, 14 Juli 2016, Jaksa Penuntut Umum menuntut Sambudi dengan pidana enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun;
Kedua, Zaharman, guru SMAN 7 Rejang Lebong. mengalami kebutaan setelah diketapel orangtua murid pada Selasa, 1 Agustus 2023 lalu. Kejadian ini bermula saat guru olahraga tersebut memergoki siswanya merokok di kantin sekolah. Zaharman kemudian menegur dan memberikan hukuman. Usai menerima hukuman, seorang siswa berinisial PDM pulang dan mengadu kepada orangtuanya. Orangtua murid itu kemudian terpancing emosi dan pergi ke sekolah. Setelah terjadi perdebatan Zaharman diketapel oleh orang tua murid, dan terkena bola mata kanannya;
Ketiga, Khusnul Khotimah, guru SD Plus Darul Ulum, Jombang, Khusnul Khotimah dilaporkan orangtua murid ke polisi lantaran dituding lalai mengawasi siswa saat jam kosong. Sang guru dilaporkan pada Februari 2024 lalu. Khusnul Khotimah kemudian ditetapkan sebagai tersangka lantaran siswanya ada yang terluka. Siswa tersebut terluka di bagian mata kanan akibat lemparan kayu saat bermain di ruang kelas; Khusnul Khotimah dijerat Pasal 360 ayat 1 KUHP atau Pasal 360 ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 2 KUHP.; Keempat, Maya guru SMPN 1 Bantaeng yang dijebloskan ke penjara akibat menertibkan seorang murid yang baku siram dengan temannya dengan sisa air pel, tapi mengenai dirinya. Siswa tersebut dibawa ke ruang BK dan dicubit. Oleh orangtua murid, Maya dilaporkan hingga diproses di meja hijau;
Kelima, kasus terbaru yang menimpa Supriyani, guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan. Guru honorer selama 16 tahun dengan penghasilan 300 ribu per bulan ini harus menghadapi tuntutan hukum atas tuduhan penganiayaan kepada siswa kelas 1A, yang menurutnya tidak pernah ia lakukan. Kasus Supriyani ini viral setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama sepekan sebelum menjalani sidang. Kasus ini masih berlangsung dalam persidangan di PN Andollo, Konawe Selatan dan menjadi perhatian berbagai kalangan, termasuk PB PGRI, DPR, DPD, Kejaksaan, kepolisian dan masyarakat luas. Karena viralnya kasus ini, pada Senin, 4 Nov 2024, Komisi III DPR RI berencana memanggil Kapolri dan meminta penjelasan terkait penanganan kasus Supriyani oleh pihak Kepolisian.
UUGD VS UUPA
Banyaknya kasus “kriminalisasi guru”, menurut ketua PGRI Jateng, Dr. Muhdi, SH M.Hum yang juga wakil ketua Komite I DPD RI, karena penegak hukum hanya berpegang pada aturan hukum dalam KUHP, tanpa melihat adanya peraturan perundangan yang juga mengatur dan melindungi profesi guru. “Selain itu, MoU PGRI dan Polri terkait penanganan kasus yang melibatkan guru, mungkin juga tidak tersosialisasikan dengan baik”, ujar Dr. Muhdi.
Mantan Rektor Universitas PGRI Semarang yang kini menjadi wakil ketua Komite I DPD RI dan juga sebagai Direktur Pengembangan dan Evaluasi LAM Dik ini, menambahkan, banyak guru sering dihadapkan pada situasi dilema, terutama jika dihadapkan pada ketentuan UU nomor 23 tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi UU nomor 35 tahun 2014, tentang Perlindungan anak.
Di satu sisi guru ingin menjalankan tugas sesuai ketentuan UUGD dan berupaya mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana diatur dalam UU nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas tetapi pada sisi yang lain guru sering dihantui oleh ancaman pelanggaran UU Perlindungan Anak.
Dari berbagai peristiwa dan kasus hukum yang menjerat guru, kini banyak pemikiran muncul di kalangan pendidik dan masyarakat tentang pentingnya UU Perlindungan Guru. Bahkan, mantan Kabareskrim Komjen (purn) Susno Duaji pun dalam sebuah teleconference dengan media electronik mrnyatakan mendukung adanya UU Perlindungan Guru.
“Alangkah indahnya jika dalam menangani kasus yang melibatkan guru, para penegak hukum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, sekaligus juga menjunjung tinggi marwah profesi guru“.
Penulis adalah Jurnalis Derap Guru Jateng