
Derapguru.com – Semarang.
Sebelum forum Focus Group Discussion (FGD) membahas pasal-pasal dan istilah hukum, Dr. Hj. Sri Suciati, M.Hum., Rektor Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), berdiri di podium dengan kalimat pembuka yang menggugah:
“Universitas ini bukan sekadar kampus, tapi rumah besar bagi para guru untuk terus belajar dan memperjuangkan pendidikan yang berkeadilan.”
Ucapan itu muncul pada menit 1:24:53, sesaat setelah nama beliau disebut oleh Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Atip Latipulhayat sebagai salah satu tuan rumah kegiatan. Namun lebih dari sekadar sambutan seremonial, pernyataannya menegaskan posisi UPGRIS sebagai simpul intelektual guru Indonesia — tempat gagasan kebijakan dan praktik pendidikan saling bertemu.

Rumah bagi Guru dan Pendidik
Dalam forum yang dihadiri oleh anggota Komisi X DPR RI Dr. H. Abdul Fikri Faqih, M.M., Ketua PGRI Jawa Tengah Dr. H. Muhdi, S.H., M.Hum., serta para pejabat pendidikan provinsi, Sri Suciati menyoroti pentingnya universitas berperan sebagai rumah pembelajaran berkelanjutan.
Menurutnya, perguruan tinggi keguruan tidak cukup hanya menyiapkan sarjana pendidikan, tetapi harus menjadi “laboratorium sosial” tempat guru berkolaborasi menguji gagasan.
Ia menegaskan bahwa semangat ini sejalan dengan arah revisi RUU Sisdiknas yang menekankan profesionalisme dan perlindungan bagi guru.
“Kalau negara sedang membenahi regulasinya, maka kampus harus membenahi cara berpikirnya,” ujar Sri Suciati. “Guru masa depan bukan hanya pengajar, tetapi peneliti dan pembelajar sepanjang hayat.”
Pernyataan itu mengundang anggukan dari banyak peserta. Di ruang auditorium, pesan tersebut menggema lebih sebagai ajakan reflektif ketimbang retorika akademik.
Pendidikan yang Memuliakan dan Menggembirakan
Masih di sesi pembuka, Sri Suciati menyinggung filosofi pendidikan yang sering diabaikan dalam perdebatan kurikulum: mendidik harus memuliakan manusia.
Ia menyebut konsep yang kini mulai banyak diperbincangkan dalam RUU Sisdiknas, yakni pembelajaran yang memuliakan, berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.
“Di UPGRIS, kami menanamkan pada mahasiswa calon guru bahwa pembelajaran harus memerdekakan,” katanya. “Kalau guru datang ke kelas dengan hati yang lelah, maka pengetahuan pun kehilangan cahaya.”
Kutipan itu menjadi napas bagi keseluruhan FGD hari itu — mengingatkan semua pihak bahwa pendidikan tidak semestinya kaku oleh birokrasi. Nilai kemanusiaan harus tetap menjadi fondasi kebijakan.
Kolaborasi Akademik dan Gerakan PGRI
Sebagai rektor sekaligus bagian dari keluarga besar PGRI, Sri Suciati menegaskan komitmen universitas untuk terus menjadi mitra organisasi profesi guru.
UPGRIS bukan hanya ruang kuliah, tapi juga pusat diskusi kebijakan dan inovasi pembelajaran.
Kolaborasi antara perguruan tinggi, organisasi profesi, dan pemerintah diyakininya sebagai pilar reformasi pendidikan.
“RUU Sisdiknas tidak bisa dibaca hanya dari teks hukum,” ucapnya. “Ia harus dimaknai dari ruang-ruang belajar tempat guru menyalakan api pengetahuan setiap hari.”
Pesan itu menutup sambutannya — ringkas, reflektif, namun membekas.
Di antara semua suara dalam FGD hari itu, kalimat-kalimat Sri Suciati mengingatkan hadirin bahwa di balik rumusan pasal dan angka anggaran, ada jiwa yang harus terus dijaga: semangat guru yang tidak berhenti belajar. (Sapt/Wis)





