Oleh Purwanto
Dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan para guru sering memunculkan tuduhan “kriminalisasi” dengan argumen apa yang dilakukan guru merupakan tindakan mendidik dan bukan tindakan kriminal sebagaimana dituduhkan pihak-pihak tertentu selama ini. Dan dalam beberapa hari terakhir jagad maya kita diramaikan dengan pemberitaan kasus Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Kecamatan Baito, Konawe Selatan, yang ditahan di lapas perempuan dan harus menghadapi tuntutan hukum di pengadilan negeri Andolo. Berbagai tanggapan dan empati masyarakat muncul dari berbagai kalangan sebagai bentuk dukungan terhadap Supriyani, demi memperoleh keadilan atas tuduhan penganiayaan yang menurutnya tidak pernah ia lakukan, serta dugaan pemerasan uang 50 juta yang harus ia bayar.
Kasus ini sebenarnya sudah muncul sejak 26 April 2024, tetapi baru viral di jagad maya saat Supriyani ditahan pihak berwajib pada 15 Oktober 2024 dan harus menghadapi tuntutan hukum di pengadilan negeri Andolo yang sidang perdananya digelar hari Kamis 24 Oktober 2024.
Sebagaimana diungkapkan Supriyani dalam sebuah kanal Youtube, dirinya menerima tilpun dari petugas polsek Baito yang menginfokan adanya tuduhan penganiayaan yang dilakukan Supriyani terhadap seorang siswa tempat Supriyani mengajar. Untuk menyelesaikan kasus tersebut maka Supriyani diminta datang ke Polsek Baito untuk dimintai keterangan. Tidak lama setelah itu Supriyani datang ke polsek dan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan tindakan penganiayaan seperti yang dituduhkan.
Kasus itu kemudian terus bergulir dan Supriyani pun telah berupaya menemui orang tua siswa yang melaporkan kasus tersebut untuk meminta maaf tetapi tetap dengan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan tindakan penganiayaan yang dituduhkan. Menurut Supriyani permintaan maaf itu dilakukan dengan tujuan agar kasus yang dituduhkan tidak berlarut-larut dan segera berakhir. Tetapi “nampaknya” orang tua siswa ini justru menjadikan permintaan maaf Supriyani sebagai bentuk pengakuan bersalah. Upaya perdamaian pun ia lakukan dengan melibatkan kepala desa dan polsek Baito. Dan dari sinilah kemudian muncul dugaan upaya “Pemerasan 50 Juta” terhadap Supriyani sebagai jalan damai. Guru honorer bergaji 300 ribu per bulan dan isteri dari seorang suami yang bekerja sebagai petani menolak permintaan tersebut. Hingga akhirnya pada tanggal 15 Oktober 2024, Supriyani ditahan dan kasusnya menjadi viral.
Meski sudah ditahan, Supriyani tetap menyatakan tidak pernah melakukan penganiayaan. Kepala Sekolah dan rekan-rekan guru tempat Supriyani mengajar serta anak-anak, yang juga rekan korban pun mengaku tidak mengetahui adanya penganiayaan seperti yang dituduhkan oleh Aipda WH dan Nurfitriana, orang tua korban.
Belakangan informasi dan dugaan luka di paha anak tersebut akibat jatuh, dan bukan karena penganiayaan oleh guru Supriyani.
Perlindungan Guru
Kita semua tahu bahwa guru adalah sebuah profesi yang seharusnya memperoleh perlindungan, baik perlindungan hukum maupun perlindungan profesi sebagaimana diatur dalam UU nomor 14 tahun 2005 pasal 39. Guru sebagai profesi juga memiliki kode etik yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk menjaga kehormatan dan martabat guru. Dalam upaya itu, UU tersebut juga mewajibkan guru menjadi anggota organisasi profesi (pasal 41 ayat3).
Dalam melaksanakan tugas profesinya, guru juga memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam PP 74/2008 tentang Guru. Pasal 39 PP tersebut menyatakan, (1) Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik Guru, dan peraturan perundang-undangan. (3) Pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan Guru, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan. (4) Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelanggaran Kode etik atau Hukum
Dengan demikian jika seorang guru diduga melakukan pelanggaran dalam menjalankan profesi mestinya tidak langsung ditangani atau diproses oleh aparat hukum tetapi dilihat dulu apakah itu pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum. Jika pelanggaran kode etik serahkan kepada Dewan Kehormatan Guru (organisasi profesi), dan jika itu pelanggaran hukum baru diproses oleh aparat hukum.
Sangat disayangkan sampai saat ini ada mispersepsi tentang penegakan kode etik dan penegakan hukum dalam kasus yang melibatkan guru, sehingga hampir semua kasus guru langsung diproses oleh aparat hukum. Adanya Nota Kesepahaman antara PGRI sebagai organisasi profesi dengan Institusi Polri sebagai penegak hukum seolah tak pernah dilihat sebagai salah satu solusi untuk mewujudkan keadilan serta menjaga kehormatan dan martabat guru.
Setelah kasus guru honorer Supriyani viral dan memperoleh tanggapan dari masyarakat luas termasuk dari DPR RI, DPD RI dan DPRD, serta PGRI, baru penahanan Supriyani ditangguhkan pada 22 Oktober 2024. Penangguhan penahanan Supriyani tertuang pada surat penetapan PN Andoolo Nomor: 110/Pen.Pid.Sus-Han/2024/PN Adl, yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Hakim Stevie Rosano dan dua anggota hakim, Vivi Fatmawaty Ali serta Sigit Jati Kusumo.
Pernyataan PGRI
Terkait dengan kasus Guru Honorer Supriyani tersebut, Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi menyampaikan pernyataan; Pertama, sejak kasus ini terungkap ke publik, maka PGRI melalui Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PB PGRI, Pengurus PGRI Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Pengurus PGRI Kabupaten Konawe Selatan segera turun ke lapangan dan mengunjungi yang bersangkutan di Lapas untuk menelusuri kasus tersebut dan berkoordinasi dengan aparat hukum terkait untuk menangguhkan penahanan terhadap ibu Supriyani; Kedua, atas respon cepat pihak Kepolisian dalam kasus tersebut, PGRI mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas terkabulkannya permohonan PGRI untuk penangguhan penahanan Guru Honorer Supriyani S.Pd;
Ketiga, PGRI meminta agar yang bersangkutan dibebaskan dari segala tuntutan hukum mengingat guru tersebut saat menjalankan profesinya tidak akan berniat menganiaya atau menyakiti anak didiknya dan guru Supriyani sedang mengikuti proses seleksi PPPK untuk masa depannya; Keempat; di kemudian hari apabila terdapat tindakan guru yang dianggap melanggar hukum, maka mohon aparat kepolisian terkait dapat melakukan upaya penyelesaian restorative justice dan berkoordinasi dengan PGRI setempat dalam upaya penegakan kode etik guru sesuai MOU Polri dengan PGRI tentang Perlindungan Hukum bagi Profesi Guru;
Kelima, mengingat yang bersangkutan sedang menjalani tes PPPK dan Pendidikan Profesi Guru, maka PGRI memohon agar guru Supriyani dapat mengikuti proses tersebut tanpa ada catatan dari pihak kepolisian; dan Keenam, PGRI percaya akan penegakan hukum secara profesional yang dilakukan oleh kepolisian, karena itu apabila ada oknum aparat yang melakukan upaya diluar kepatutan, kami mohon agar yang bersangkutan dapat ditindak sesuai peraturan yang berlaku.
Tanggapan juga diberikan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr H Muhdi SH Mhum. Dr. Muhdi yang juga Ketua PGRI Provinsi Jawa Tengah mengatakan telah menghubungi pihak kepolisian supaya kasus ini mendapatkan atensi khusus.
“Kami sudah menghubungi pihak kepolisian agar kasus seperti ini mendapatkan atensi khusus dari Kapolres, Kapolda, maupun Mabes Polri,” tutur Muhdi.
Dr. Muhdi menyampaikan bahwa kasus-kasus guru dan murid mestinya diselesaikan melalui restorative justice. Lebih diutamakan jalur dialog kekeluargaan karena guru dan murid ini saling terhubung secara fisik dan mental.
“Ada jalan melalui restorative justice bila dalam kegiatan pembelajaran muncul konflik antara guru dan murid. Tidak semua hal harus diselesaikan di pengadilan,” tandas Muhdi.
Penulis adalah Redaktur Majalah Derap Guru