
Setelah beberapa tahun terakhir pemerintah meniadakan kegiatan evaluasi bagi peserta didik yang bersifat nasional, seperti Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), kini pada tahun 2025 pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah menyelenggarakan Tes Kemampuan Akademik (TKA) bagi para siswa, berdasarkan Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 tentang TKA, dan diatur lebih lanjut dalam Keputusan Mendikdasmen Nomor 95/M/2025 tentang Pedoman Penyelenggaraan TKA. Kedua peraturan ini menjadi landasan hukum utama penyelenggaraan TKA.
Untuk mengupas lebih lanjut tentang TKA di SMA, yang hari ini memasuki hari kedua, derapguru.com mewawancari Dr Saptono Nugrohadi, M.Pd, M.Si, guru SMAN 3 Kota Salatiga. Dr Saptono Nugrohadi yang juga Wakil Sekretaris Umum PGRI Jawa Tengah ini kita kenal juga pernah meraih predikat guru dan kepala sekolah berprestasi nasional, dan aktif sebagai nara sumber berbagai pelatihan guru. Berikut petikan wawancara dengan peraih double degree kualifikasi akademik program doctoral terkait Tes Kemampuan Akademik (TKA) bagi para siswa.
Setelah beberapa tahun terakhir tidak ada evaluasi nasional seperti UN dan USBN, apa dampaknya bagi dunia pendidikan kita?
Selama beberapa tahun tanpa adanya evaluasi nasional seperti UN atau USBN, sekolah memang memiliki ruang otonomi yang lebih luas dalam menentukan bentuk asesmen. Namun, di sisi lain, standar mutu antarsatuan pendidikan menjadi sangat beragam. Ada sekolah yang tetap menjaga kualitas asesmen dengan ketat, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami penurunan konsistensi dalam pengukuran kompetensi akademik siswa.
Ketiadaan tolok ukur nasional juga membuat pemetaan mutu dan daya saing siswa sulit dilakukan secara objektif, baik di tingkat daerah maupun nasional. Akibatnya, kebijakan intervensi berbasis data menjadi kurang tepat sasaran. Jadi, kembalinya asesmen seperti TKA tahun 2025 ini adalah langkah penting untuk menyegarkan sistem evaluasi pendidikan nasional—bukan dalam konteks ujian berorientasi hukuman, melainkan sebagai alat ukur kompetensi dan akuntabilitas pembelajaran.
Tahun 2025 ini ada Tes Kemampuan Akademik TKA. Adakah perubahan pola belajar-mengajar di sekolah untuk menyukseskan TKA?
Ya, tentu ada perubahan yang cukup terasa. Di SMA Negeri 3 Salatiga, kami menerapkan program “SIAP TKA Jam ke-Nol”, yaitu sesi pendalaman materi setiap pagi pukul 06.00–07.00 WIB.
Setiap Senin dan Selasa difokuskan pada mapel pilihan 1, sedangkan Rabu dan Kamis untuk mapel pilihan 2, sesuai dengan kombinasi mata pelajaran yang diambil siswa.
Selain itu, pembelajaran reguler kini lebih menekankan literasi numerik, literasi sains, dan keterampilan berpikir kritis, sesuai karakter soal TKA yang berbasis penalaran. Siswa tidak lagi diarahkan untuk menghafal, melainkan memahami konteks dan menerapkan konsep.
Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Kimia, siswa berlatih menganalisis eksperimen virtual berbasis data, sedangkan di Bahasa Indonesia mereka dilatih menafsirkan teks kompleks dan mengambil kesimpulan logis.
Kami juga melaksanakan Try Out tiga kali dan satu kali Gladi Bersih dengan format simulasi nasional agar siswa terbiasa dengan antarmuka dan tekanan waktu ujian.
Apa target Bapak/Ibu guru terhadap siswa dalam pelaksanaan TKA di sekolah Bapak?
Target kami bukan semata-mata nilai tinggi, melainkan kematangan belajar dan integritas siswa. Kami ingin peserta didik mampu menunjukkan kemampuan akademiknya secara jujur, mandiri, dan percaya diri.
Secara teknis, tentu kami menargetkan stabilitas pelaksanaan tanpa kendala jaringan dan kesiapan mental siswa dalam menghadapi asesmen nasional berbasis komputer.
Namun secara lebih mendalam, TKA menjadi ajang bagi siswa untuk menemukan posisi dirinya dalam peta kompetensi nasional, sebagai refleksi kesiapan menuju perguruan tinggi dan dunia kerja.
Jadi, nilai TKA kami pandang bukan akhir, tetapi cermin kualitas pembelajaran dan budaya belajar di sekolah.
Apa usulan dan pendapat Bapak untuk pelaksanaan TKA tahun yang akan datang?
Yang pertama dan terlebih dahulu kami mengapresiasi adanya TKA Tahun 2025 ini sebagai bentuk restandardisasi mutu pendidikan nasional yang berbasis digital dan objektif. Namun untuk tahun-tahun berikutnya, ada beberapa hal yang perlu diperkuat, yakni Konsistensi jaringan dan infrastruktur TIK agar tidak ada kesenjangan antarsekolah, khususnya di daerah.
Kami juga berharap ada penyempurnaan jadwal dan sosialisasi teknis agar sekolah memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan simulasi.
Berikutnya perlu adanya Integrasi hasil TKA dengan pemetaan mutu, pengembangan guru, dan kebijakan pembelajaran agar hasilnya tidak berhenti di angka, tetapi menjadi bahan refleksi peningkatan mutu pendidikan nasional.
Harapan kami, TKA berikutnya tetap dilaksanakan dengan semangat transparansi, kolaborasi, dan akuntabilitas, bukan sekadar rutinitas evaluasi, melainkan gerakan bersama untuk memulihkan integritas asesmen pendidikan di Indonesia. (pur)




