Batas usia pensiun (BUP) guru sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (4) Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah 60 tahun. Pencantuman BUP guru 60 tahun ini menurut Ketua PGRI Jawa Tengah, Dr Muhdi SH M.Hum melalui proses panjang dan tak bisa dipisahkan dengan sejarah guru-guru di kabupaten Purworejo yang dipensiun oleh Bupati pada usia 56 tahun. Para guru yang merasa masih sehat dan masih mampu menjalankan tugas itu dengan didukung oleh ribuan guru-guru yang lain melakukan protes dan meminta masa pensiunnya diperpanjang sampai usia 60 tahun.

Meski gerakan demonstrasi untuk memprotes keputusan bupati sangat kuat, bahkan ditempuh juga dengan gugatan ke pengadilan, tuntutan para guru itu tidak berhasil membatalkan keputusan bupati, karena keputusan itu berdasar kewenangan bupati yang diatur oleh UU Otonomi Daerah. Dr Muhdi mengungkapkan, sejalan dengan pembahasan RUU Guru yang sedang berlangsung di DPR, maka PGRI Jawa Tengah sebagai organisasi guru menghadirkan Ketua komisi X DPR RI, Zuber Zawawi dan meminta agar batas usia pensiun guru ditetapkan 60 tahun, masuk dalam klausul RUU Guru yang sedang dibahas oleh DPR. “Alhamdulillah, aspirasi PGRI Jawa Tengah melalui komisi X, didengar dan dikabulkan, sehingga batas usia pensiun guru ditetapkan 60 tahun masuk dalam UU Guru dan Dosen”, ujar Dr Muhdi saat mengenang perjuangan PGRI memasukkan batas usia pensiun guru 60 tahun dalam UUGD.
Ketidakadilan
Kini, setelah 20 tahun UU nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen berjalan, seorang guru mengajukan uji materi ke MK, terkait batas usia pensiun guru yang tidak sama dengan batas usia pensiun dosen. Persoalan ini telah masuk dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan permohonan Perkara Nomor 99/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Sri Hartono, dan telah beberapa kali disidangkan, untuk mendengar keterangan pemohon (Sri Hartono), para saksi, pihak pemerintah, DPR, dan ahli. Berikut kutipan keterangan dalam sidang dan pendapat lain para guru.
Dalam sidang perdana, Selasa (24/6/2025), Sri Hartono mempersoalkan ketentuan batas usia pensiun guru pada usia 60 tahun, yang lebih rendah dibandingkan dosen bertentangan dengan prinsip meritokrasi dalam kebijakan Aparatur Sipil Negara (ASN). Perbedaan tersebut tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memicu ketegangan sosial antara profesi guru dan dosen. Pemensiunan guru pada usia 60 tahun berdampak langsung dan nyata bagi dirinya, baik secara administratif maupun psikologis.
Sri Hartono meminta MK menyatakan pasal yang mengatur usia pensiun guru dalam UU Guru dan Dosen bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa usia pensiun guru disamakan dengan dosen, yakni 65 tahun.
Legal, Historis, Ilmiah
Selanjutnya dalam sidang berikutnya, Selasa (12/8/2025), pihak pemerintah yang diwakili Staf Ahli Bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Biyanto, menerangkan sejarah pengaturan batas usia pensiun guru, dalam Pasal 30 ayat (4) UU 14/2005, dan batas usia pensiun guru dalam PP 32/1979.
Selain aspek legal historis, Pemerintah juga memaparkan alasan ilmiah. Berdasarkan penelitian Dewi Rosita Rusdi, terdapat hubungan antara pertambahan usia guru dan penurunan fisiologis yang dapat memengaruhi kinerja. Penelitian menunjukkan bahwa pada rentang usia 30–45 tahun, mulai terjadi penurunan fungsi fisiologis. Oleh karena itu, usia pensiun 60 tahun dianggap relevan secara logis, kontekstual, dan empiris.
Pemerintah juga mengingatkan bahwa jika batas usia pensiun guru diperpanjang menjadi 65 tahun, akan terjadi pembatasan formasi bagi lulusan sarjana kependidikan. Berdasarkan data, pada 2024 terdapat 224.866 lulusan sarjana kependidikan, sementara guru yang pensiun pada 2025 hanya 68.390 orang. Perpanjangan usia pensiun berpotensi menghambat regenerasi tenaga pendidik dan mengurangi peluang kerja bagi calon guru baru.
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil yang hadir dalam persidangan MK berikutnya, Selasa (21/8/2025) menegaskan bahwa penetapan batas usia pensiun bagi guru tidak dapat dilepaskan dari penafsiran historis terhadap pengaturan usia pensiun sebelumnya. “Usia 60 tahun dikategorikan sebagai usia lanjut. Pada usia ini terjadi penurunan kemampuan mulai dari kemampuan konsentrasi maupun daya tahan fisik yang tentu akan berimplikasi langsung terhadap efektivitas pengajaran,” ujarnya.
DPR menilai pembatasan usia pensiun bagi guru merupakan bagian dari upaya menjaga kualitas pendidikan sekaligus optimalisasi sumber daya manusia. Meskipun guru dan dosen sama-sama tenaga pendidik profesional, terdapat perbedaan kompleksitas tugas, kualifikasi, serta tanggung jawab. Karena itu, perbedaan pengaturan batas usia pensiun dalam UU Guru dan Dosen dinilai wajar dan proporsional.
Ditekankan juga, bahwa pengaturan batas usia pensiun merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang. Sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan, kebijakan tersebut dianggap tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, maupun UUD 1945. Dengan demikian, DPR menilai ketentuan batas usia pensiun guru sebagaimana diatur dalam UU Guru dan Dosen bersifat konstitusional serta tidak diskriminatif, karena telah dirumuskan secara proporsional sesuai beban dan kompleksitas masing-masing profesi.
Pendapat Saksi dan Ahli
Teguh Wibowo dan Ramli yang dihadirkan sebagai saksi oleh pemohon, memberikan keterangan dalam persidangan MK yang digelar secara daring. Teguh menyampaikan, bahwa pada usia 60 tahun banyak temannya yang berprofesi guru dalam kondisi yang sehat dan kuat untuk melaksanakan tugas sebagai ASN. Guru-guru yang dia kenal dan telah pensiun, yang berusia 63 tahun dan 65 tahun tetap sehat dan mampu melakukan berbagai kegiatan. “Ada yang memberikan bimbingan belajar, ada yang mengajar di sekolah swasta, dan ada juga yang menjadi ojek online, kata Teguh. Saksi lainnya, Ramli, mengungkapkan hal senada dan berharap MK mengabulkan permohonan ini.
Doni Koesoema Albertus yang dihadirkan pemohon sebagai ahli dalam persidangan, Kamis (4/9/2025), menyatakan usia pensiun guru 60 tahun dan dosen 65 tahun dinilai sebagai wujud ketidaksetaraan penghargaan antara dua profesi itu. Perbedaan usia pensiun antara guru dan dosen merupakan bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam memandang profesi guru sebagai pendidik.

“Baik guru maupun dosen adalah profesi mulia yang mendidik anak-anak Indonesia sesuai jenjangnya masing-masing. Sebagai profesi, tugas guru dan dosen sama-sama memiliki persyaratan kualifikasi akademis yang memang diperlukan agar pelayanan dan tugas secara profesional itu efektif,” ucap Doni.
Opsi Terbatas
Di luar sidang, terkait persoalan tersebut, beberapa nara sumber memberikan pendapat. Sutikno, pensiunan guru yang kini jadi Wakil Ketua PGRI Jateng, berpendapat, terkait kondisi kesehatan dan kemampuan guru, relatif. Ada guru yang seusia 60 tahun, bahkan lebih, masih kuat dan semangat dalam mengajar maupun beraktifitas lain, namun ada juga guru yang usianya di bawah 60 tahun sudah tidak sehat, tidak kuat, dan tidak semangat.

Adanya guru yang mengajukan uji materi terkait BUP Guru agar disamakan dengan BUP Dosen 65 tahun, Sutikno menyatakan setuju. “Namun dengan menyatakan kesanggupan untuk menjalankan tugas dengan semestinya, serta dinyatakan lulus persyaratan/uji kelayakan tertentu seperti ketahanan fisik dan mental atau semacamnya, bukan dengan capaian AK tertentu, penulisan karya tulis ilmiah, dan lain lain”, jelasnya.
“Jika dikaitkan dengan kekurangan guru yang setiap tahun bertambah, sementara rekruitmen guru yang lamban, maka pensiun guru 65 tahun akan menjadi salah satu alternatif solusi”, ujar Sutikno menambahkan.
Niko Brahmanto, S.Pd.Si., M.Pd., Gr., Guru SMP Negeri 1 Magelang, memandang langkah seorang guru yang mengajukan uji materi UUGD ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk keberanian dan partisipasi aktif dalam proses hukum negara. “Ini menunjukkan bahwa guru juga melek hukum dan berani menyuarakan aspirasi. Namun, perlu kita pahami bahwa tugas dan ekosistem kerja guru dan dosen memiliki perbedaan mendasar”, ujar Nico.Dijelaskan, guru bekerja langsung mendampingi peserta didik setiap hari, dengan intensitas interaksi yang tinggi, sedangkan dosen memiliki pola kerja yang lebih fleksibel dan menekankan riset serta publikasi ilmiah. Perbedaan ini wajar jika melahirkan perbedaan Batas Usia Pensiun.
“Memperpanjang BUP guru bisa menjadi opsi terbatas bagi mereka yang masih sehat, kompeten, dan dibutuhkan, misalnya melalui skema seleksi khusus atau perpanjangan kontrak pascapensiun. Tetapi jika diberlakukan massal, ada risiko memperlambat regenerasi tenaga pendidik dan menutup kesempatan guru muda untuk berkembang”, ujar Nico yang juga sebagai motivator, penyanyi dan MC ini berargumen.
Karena itu, menurut Nico, solusi ideal bukan semata menyamakan BUP guru dengan dosen, tetapi membuka jalur apresiasi, mentoring, atau penugasan khusus bagi guru senior yang masih produktif tanpa menghambat regenerasi guru baru.
Terkait penetapan BUP guru 60 tahun dalam UUGD, menurut Nico cukup rasional bila dilihat dari rata-rata kondisi kesehatan dan tuntutan kerja guru yang intens, penuh interaksi langsung setiap hari. Pekerjaan guru menuntut kesiapan fisik, emosi, dan mental yang stabil untuk membimbing ratusan siswa secara berkelanjutan.
Diingatkan, kita juga harus jujur bahwa tidak semua guru sama. Ada guru usia 60 yang masih sangat prima dan adaptif, bahkan menjadi panutan inovasi. Karena itu, ke depan bisa dipikirkan mekanisme selektif, misalnya uji kesehatan dan kompetensi berkala bagi guru senior yang masih ingin mengabdi, agar mereka bisa tetap berkontribusi tanpa mengorbankan regenerasi tenaga pendidik muda. “Dengan begitu, keberlanjutan kualitas pendidikan tetap terjaga”, ucap Nico menegaskan.
Ekosistem Pendidikan
Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan perpanjangan BUP guru menjadi 65 tahun, menurut Nico Bramanto, kita harus siap menghadapi perubahan ekosistem pendidikan yang cukup besar. Di satu sisi, kita bisa mempertahankan pengalaman dan kearifan guru senior lebih lama, mereka bisa menjadi mentor atau pembina bagi guru-guru muda. Ini berpotensi menjaga stabilitas mutu pengajaran.

Namun di sisi lain, kata Nico, konsekuensinya tidak kecil: laju regenerasi guru muda akan melambat karena formasi ASN baru otomatis menyempit. Beban belanja pegawai meningkat karena guru senior berada di golongan dan gaji puncak. Selain itu, ada risiko stagnasi inovasi bila sebagian besar tenaga pendidik berada di usia mendekati pensiun.
“Karena itu, jika perpanjangan BUP dikabulkan, saya berpendapat harus ada mekanisme pengawasan ketat, seperti seleksi kesehatan, kinerja, dan adaptasi teknologi, agar guru yang tetap bertugas di atas 60 tahun benar-benar produktif dan tidak menghambat estafet regenerasi”, ujar Nico mengingatkan.
Pikirkan Nasib Guru Honorer
Menanggapi permohonan uji materi terkait batas usia pensiun guru agar sama dengan batas usia pensiun dosen (65 tahun), Didin Arifin Nur Ikhsan, mantan Ketua FHNK2, Kabupaten Pemalang, menyatakan wajar jika ada yang merasa keberatan, karena banyak guru honorer, yang kini masih berjuang menjadi ASN.
Didin yang kini sudah menjadi guru SDN 04 Simpur, Kecamatan Belik, mengingatkan, kalau BUP guru diperpanjang, formasi guru baru bisa makin sempit. “Saya pribadi lebih setuju BUP tetap seperti sekarang, tetapi guru yang masih dibutuhkan bisa diberi ruang melalui mekanisme khusus, tanpa harus menutup peluang atau mengorbankan harapan teman-teman guru honorer”, ujar Didin mengingatkan.

Penghargaan untuk guru senior penting, tetapi menurutnya, jangan sampai menghalangi perjuangan guru honorer yang sudah puluhan tahun menanti.
“Kalau MK sampai mengabulkan BUP guru menjadi 65 tahun, dampaknya pasti besar. Formasi guru ASN baru otomatis akan semakin berkurang, sehingga ribuan guru honorer yang sudah lama berjuang bisa semakin tertunda harapannya”, ujar guru muda ini memikirkan nasib para honorer.
Didin berharap, regenerasi guru tidak terhambat, karena dunia pendidikan butuh tenaga muda yang lebih segar dan melek teknologi. “Jadi menurut saya, meskipun niatnya memberi kesempatan lebih panjang bagi guru senior, keputusan itu bisa menimbulkan ketidakadilan bagi guru honorer dan generasi baru”, ucap Didin penuh harap. (pur)