PEMERINTAHAN di bawah kepemimpinan presiden Joko Widodo periode kedua tinggal beberapa minggu lagi akan berakhir setelah presiden terpilih Prabowo Subianto dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang. Banyak hal telah dikerjakan dalam pemerintahan presiden Joko Widodo tetapi banyak pula pekerjaan yang belum terelesaikan. Pekerjaan apa yang belum terselesaikan khususnya di bidang pendidikan dan menjadi PR bagi pemerintahan baru? Reporter derapguru.com telah mewawancarai Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar PGRI Dr Sumardiansyah Perdana Kusuma. Guru SMAN 13 Jakarta yang juga menempuh Pendidikan S1 Ilmu Hukum ini juga sebagai Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis PB PGRI, Presiden AGSI, Dewan Pembina Forum Ikatan Alumni Kawasan, 3T, dan Inti Bangsa, Direktorat Sejarah, dan masih banyak lagi jabatan lain yang dipercayakan kepada tokoh muda PGRI kelahiran 1 November 1987 ini. Berikut petikan wawancara yang dilakukan melalui sambungan telephone selulernya:
Apa PR besar di Bidang Pendidikan yang belum diselesaikan Dalam Pemerintahan Presiden Jokowi?
Dalam catatan saya, masih ada dua PR besar di bidang pendidikan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan guru. Dua PR besar ini mengakibatkan dua kelompok pendidikan belum merasakan kemerdekaan seutuhnya, dikarena nasib mereka terombang ambing dalam ketidakpastian serta dinamika kebijakan. Kelompok pertama adalah Kelompok Penuntasan guru honorer, guru kontrak, Pegawai Tidak Tetap (PTT) Non ASN agar bisa beralih menjadi ASN PPPK. Dan kelompok kedua adalah Kelompok Penuntasan 1,6 juta guru dalam jabatan agar bisa memperoleh sertifikat pendidik sebagai legal formal guru professional.
Bagaimana Solusi untuk mengatasinya?
Untuk kelompok pertama dengan solusi jangka pendek kami meminta agar paling lambat tahun 2024 ini daftar antrian pelamar P1-P4 yang sudah lulus ambang batas bisa langsung diangkat sebagai ASN PPPK. Sedangkan solusi jangka panjang kami mendorong agar PP PPPK sebagaiturunan dari UU ASN No. 20 Tahun 2024 bisa segera diselesaikan dengan mengakomodasi para guru dan tenaga kependidikan yang masih kategori honorer, kontrak, ataupun PTT Non ASN yang sudah bekerja minimal 5 tahun berturut-turut bisa langsung diangkat sebagai ASN PPPK. Bahkan kami juga mengusulkan agar rekruitmen Guru PPPK juga bisa ditempatkan di sekolah-sekolah swasta. Selain itu di tengah surplus demografi, pemerintah juga harus tetap membuka seleksi CPNS untuk mengakomodasi guru-guru muda dibawah usia 35 tahun.
Untuk kelompok kedua, yakni penuntasan 1,6 juta guru dalam jabatan agar bisa memperoleh sertifikat pendidik sebagai legal formal guru profesional. Solusinya pemerintah harus merealisasikan amanat UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 pasal 2 ayat 1 bahwa guru profesional dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pendidik dan pasal 82 ayat 2 bahwa 10 65 tahun sejak berlakunya UU Guru dan Dosen seluruh guru dalam jabatan harus sudah tersertifikasi.ìúýýSeharusnya 2015 program sertifikasi bagi guru dalam jabatan sudah selesai. Namun faktanya sampai 2023 masih ada antrian 1,6 juta guru dalam jabatan yang belum tersertifikasi. Artinya 1,6 juta guru ini berpotensi mengalami krisis legal formal, inkonstitusional, inferioritas, maupun gap kesejahteraan dalam menjalankan profesinya karena belum memenuhi persyaratan wajib untuk bisa dikategorikan sebagai guru profesional yaitu kepemilikan sertifikat pendidik. Karena itu kami mengusulkan agar 1,6 juta guru dalam jabatan ini bisa langsung disertifikasi melalui skema portofolio ataupun mengikuti PPG dalam Jabatan dengan memprioritaskan kelompok afirmasi yaitu mereka yang sudah menjadi guru sebelum 2015 ataupun dengan TMT 2005-2015, mengajar lebih dari 10 tahun, mengabdi di daerah 3T, dan berusia diatas 40 tahun. Kami berharap 2024 persoalan ini juga bisa diselesaikan.
Jika pemerintahan Presiden Jokowi, Mendikbudristek Nadiem Anwar Marim, Menpan RB Azwar Anas, dan Menkeu Sri Mulyani ingin meninggalkan legacy di akhir periode kekuasaan dengan tercatat dalam tinta emas dunia pendidikan dan diingat dalam memori kolektif para guru, maka tidak ada jalan lain, selain segera menuntaskan 2 PR besar diatas, semata untuk memerdekakan para guru, terutama mereka yang dianggap terdampak ataupun menjadi korban kebijakan yang berujung pada lahirnya ketidakadilan.
Terkait dengan Tata Kelola Guru, Apa yang anda usulkan?
Kami memberi pandangan kepada pemerintah untuk melakukan kajian restrukturisasi sebagian kewenangan tata kelola guru dari pemda ke pemerintah pusat (Resentralisasi). Hal ini sejalan dengan apa yang sudah disuarakan oleh PGRI sejak lama. Sebab kami melihat desentralisasi yang sudah berjalan selama ini cenderung ambivalen. Secara realitas kita melihat implementasi tata kelola guru oleh pemda berjalan cukup lambat, tarik menarik, ataupun saling lempar tanggung jawab antara pemda dengan pemerintah pusat, seperti misalkan dalam kasur rekruitmen Guru PPPK, kebijakan pemerintah pusat untuk memenuhi formasi 1 juta guru PPPK harus berhadapan dengan berbagai dinamika di daerah seperti data anjab yang seringkali tidak sesuai antara formasi dengan kebutuhan riil, alasan keterbatasan anggaran yang berakibat tidak dibukanya formasi secara optimal. Belum lagi soal persebaran guru yang tidak merata antar daerah dan antar sekolah serta guru yang selalu menjadi alat komoditi politik pada setiap pilkada.Hanya memang yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai restrukturisasi kewenangan tata pkelola ini menabrak UU 23/2014 tentang pemerintah daerah, menimbulkan konflik baru antara pusat dan daerah, serta ditafsirkan sebagai pengingkaran atas ide reformasi yaitu otonomi daerah.
Di antara kewenangan strategis tata kelola guru yang harus segera diambil oleh pemerintah pusat antara lain: rekruitmen guru, distribusi guru, karir guru, kesejahteraan dan perlindungan guru, standar profesionalisme, dan peningkatan kompetensi guru. Selain itu Pembentukan badan khusus guru yang kedudukannya setingkat kementrian dan langsung dibawah Presiden bisa menjadi pilihan kebijakan yang diambil apabila benar guru akan ditarik ke pemerintah pusat.
Terkait dengan kurikulum, haruskah pemerintahan baru mengubah kurikulum yang saat ini berlaku?
Sepanjang sejarah 79 tahun Indonesia merdeka, lika-liku perjalanan kurikulum sudah pernah berganti dalam 11 wajah. Dari sana kita bisa melihat wajah kurikulum mulai dari KurikulumRentjana Pelajaran 1947, Kurikulum Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006, Kurikulum 2013, sampai Kurikulum Merdeka.
Secara empiris kurikulum memang harus berubah sesuai dinamika perkembangan zaman. Dari sisi akademis, kurikulum harus dikembangkan atas dasar analisis kebutuhan (need assesment) dan studi evaluasi.
Tahapan-tahapan dalam pengambilan kebijakan mulai dari penyusunan naskah akademik, diskusi terpumpun, dan uji publik harus melibatkan seluruh komponen (akademisi, praktisi, masyarakat luas) serta diselenggarakan secara berkesinambungan, transparan dan akuntabel.
Pertimbangan empiris dan akademis seharusnya digunakan sebagai rujukan utama dalam perubahan ataupun pengembangan sebuah kurikulum. Namun jika kita melihat fenomena yang seringkali terjadi, perubahan ataupun pengembangan kurikulum seringkali didominasi oleh pertimbangan politis, dimana penguasa melakukan intervensi secara aktif dengan menggunakan berbagai dalil dan lobi untuk mengubah kurikulum sesuai penafsiran yang dianutnya.
Kurikulum sering dipolitisasi atas dasar dominasi ideologi dan kekuasaan serta mengabaikan keberadaan ruang publik secara deliberatif. Dugaan politisasi kurikulum muncul ketika kita melihat ada ketidaksinkronan ataupun ketidakkonsistenan antara apa yang digaungkan dengan kenyataan di lapangan sehingga menimbulkan polemik. Misalkan saja pemerintah harus mampu menjelaskan bagaimana proses perubahan dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah dalam studi evaluasi kurikulum? Seberapa penting perubahan kurikulum dilakukan dalam kondisi seperti sekarang? Dan Sejauh mana publik terlibat secara aktif dalam proses perubahan kurikulum? Lalu apakah perubahan kurikulum yang dijalankan sudah memiliki landasan hukum berupa peraturan, dimana antar aturan telah sinkron dan tidak bertentangan dengan aturan lainnya? Selanjutnya bagaimana dengan penerapan uji coba kurikulum di 2500 sekolah penggerak untuk kita bisa melihat hasil dan dampaknya? Kemudian benarkah sekolah bisa bebas memilih kurikulum tanpa khawatir adanya tekanan dari dinas sebagai perpanjangan pemerintah pusat? Apakah guru benar-benar memiliki kemerdekaan dalam menjalankan kurikulum merdeka? Bagaimana dengan beban administrasi yang sampai hari ini masih dianggap menghantui guru?
Jika politisasi kurikulum yang bersifat subjektif kekuasaan terus dipraktekan dengan mengabaikan pertimbangan empiris dan akademis yang bersifat objektif, maka nasib dunia pendidikan kita akan terus terombang ambing dalam lautan ketidakpastian, tanpa pernah bisa berlabuh di dermaga tujuan. Karena itu apabila pemerintah kedepan berencana untuk mengubah ataupun merevisi kurikulum merdeka maka yang perlu menjadi perhatian utamanya adalah mengedepankan objektivitas, empirisme, dan studi akademis. Masih banyak lagi persoalan lain di bidang pendidikan yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Untuk membahas seluruhnya tentu membutuhkan waktu dan kesempatan yang lebih banyak lagi. (pur/za)