SEMARANG, derapguru.com – Salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah masih banyaknya guru yang belum berkualifikasi sarjana. Guru-guru tersebut saat ini tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah mencapai 249.623 guru.
Fakta tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr H Muhdi SH MHum, saat menyampaikan materi dalam Seminar Nasional: Arah Kebijakan Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah yang digelar PGRI Jateng di Balairung UPGRIS, Jumat 29 November 2024.
“Masih ada 249.623 guru belum berkualifikasi sarjana. Tentu ini harus segera dituntaskan karena syarat kualifikasi minimal guru adalah lulusan sarjana,” urai Muhdi
Muhdi menambahkan, pemerintah saat ini sedang merancang terobosan untuk segera menstandarkan kualifikasi guru. Pasalnya, pemerintah menyadari untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, gurunya juga harus berkualitas.
Selain itu, Muhdi juga menyinggung masalah kebijakan pendidikan ke depan setelah terjadinya pergantian menteri pendidikan. Muhdi melihat kebijakan pendidikan ke depan akan lebih mengedepankan kemudahan akses daripada mutu.
“Beliau lebih mengedepankan akses daripada mutu. Mutunya dapat, tapi aksesnya tidak dapat, ya percuma. Jadi kebijakannya adalah membangun pendidikan bermutu, tapi aksesnya juga dapat,” urai Muhdi.
Untuk mencapai saat itu, lanjut Muhdi, Mendikdasmen berencana untuk membuat sekolah-sekolah unggulan pada setiap zona. Sekolah-sekolah unggulan ini akan mewakili faktor mutu, sedangkan keberadaannya pada setiap zona untuk mencapai aspek aksesbilitas.
Sementara itu, Pakar Pendidikan Konseling, Prof Dr DYP Sugiarto, meminta kebijakan pendidikan yang menggunakan filosofi Ki Hajar Dewantara jangan digunakan hanya setengah-setengah. Tidak bisa hanya diambil tut wuri handayani saja, tapi mengabaikan ing ngarsa sung tuladha dan ing madya mangun karsa.
“Tut wuri handayani tok ya tidak bisa. Ini satu paket. Tetap butuh ing ngarsa sung tuladha untuk peneladanan. Butuh juga ing madya mangun karsa. Tidak boleh sepotong-sepotong,” terang Prof DYP.
Kebijakan pendidikan yang setengah-setengah ini, lanjut Prof DYP, dianggapnya sebagai pengkhianatan terhadap filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menjadi filosofi pendidikan Indonesia. (za/wis/pur/yud)