Banjarnegara, derapguru.com – Di tengah sengkarut kontroversi penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional pada 10 November lalu, jurusan sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes) menggelar Sayembara Penulisan Biografi Tokoh Pahlawan Lokal Jawa Tengah. Sabtu (15/11/2025) malam diumumkan terpilih tiga tokoh yang dianggap sebagai pahlawan lokal.
Pada peringkat 1 tokoh Yap Tjwan Bing ditulis oleh Anis Nurohmah. Peringkat 2 tokoh Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang ditulis oleh Silvi Nihlatin Naila. Pada peringkat 3 ada tokoh Woerjaningrat yang ditulis oleh Luthfi Shobri Marzuqi.

Yap Tjwan Bing di dunia politik sudah dimulai sejak masa perkuliahan di Amsterdam. Yap banyak membaca buku politik dan bertemu dengan Mr. Sartono yang menjadi salah satu pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI). Selama di Belanda, ia bertemu dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Anwar Tjokroaminoto.
Puncaknya ia menjadi salah satu anggota PPKI sekaligus mewakili golongan Tionghoa. Yap hadir pada tanggal 16 Agustus 1945 saat terjadi sidang PPKI, ia turut meyakinkan forum bahwa kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang pasti. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Yap hadir pada pelaksanaan sidang pembicaraan dan pengesahan UUD 1945, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan menetapkan untuk sementara waktu bahwa presiden melaksanakan tugas-tugas dengan dibantu Komite Nasional Indonesia Pusat.

Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo, seorang ekonom cemerlang yang menggagas pendirian Bank Negara Indonesia 46 (BNI 46). Pemahaman Margono yang komprehensif dan dasar pemikirannya mengenai sistem pengembangan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, membawanya menuju satu kesimpulan: Indonesia butuh sistem perekonomian sendiri yang dapat bertahan tanpa bergantung pada sistem kolonial, sehingga menunjukkan kemandirian sebagai negara yang bebas, merdeka, dan kuat. Salah satu kekuatan tersebut berasal dari basis ekonomi yang matang. Karenanya, usul diajukan kepada Ir. Surachman, Menteri Keuangan saat itu, untuk membentuk suatu bank milik negara Indonesia. Pada 19 September 1945, melalui surat kuasa dari Soekarno–Hatta, Margono resmi diberi wewenang untuk membentuk Bank Negara Indonesia. Modal awalnya hanya 100 rupiah uang Jepang dari sakunya sendiri. Ia kemudian mendirikan yayasan “Pusat Bank Indonesia” sebagai badan hukum, dan mendapatkan dukungan dana tambahan dari dr. Suharto sebesar 350 ribu uang Jepang yang diambil dari Fonds Kemerdekaan Indonesia. Kantor pertama BNI berlokasi di Menteng Raya 23, Jakarta. Namun karena situasi keamanan memburuk, kantor dipindahkan ke Yogyakarta. Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Juli 1946, nama “Pusat Bank Indonesia” resmi diganti menjadi Bank Negara Indonesia (BNI 46), dan diresmikan pada 17 Agustus 1946 dengan modal awal ƒ10 juta. Margono menjabat sebagai Presiden Direktur pertama, didampingi T.R.B. Sabarudin sebagai wakilnya. Pada September 1946, BNI mulai mencetak dan mengedarkan mata uang nasional yang disebut ORI (Oeang Republik Indonesia). Di masa-masa krisis pasca kemerdekaan, di bawah kepemimpinan Margono BNI terbukti mampu menjadi bank sentral yang mengatur kestabilan perekonomian masyarakat.

Adapun Woerjaningrat menjadi contoh kaum bangsawan yang tak sekadar menjadi penjaga tradisi, namun juga pelopor dalam membuka ruang modernitas. Keterlibatannya dalam berbagai organisasi, mulai dari Budi Utomo hingga pendirian Partai Indonesia Raya (Parindra), menunjukkan komitmennya terhadap cita-cita nasional. Woerjaningrat menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Budi Utomo untuk masa bakti 1916–1925. Pada tahun 1928 ia terpilih sebagai wakil ketua, kemudian kembali memimpin organisasi tersebut pada periode 1934–1935. Dalam periode pertama kepemimpinan Woerjaningrat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, BU mulai memasuki ranah politik praktis. Setelah dr. Soetomo wafat pada 1938, Woerjaningrat kemudian terpilih menjadi Ketua Parindra dan memimpin partai hingga tahun 1941.
Ketua tim juri Sayembara Tsabit Azinar Ahmad, Minggu (16/11/2025) mengungkapkan total ada 88 naskah yang masuk ke panitia.
“Ada beberapa yang menulis tokoh yang sama, ditulis oleh penulis berbeda. Beberapa kriteria kita pilih diantaranya kedalaman materi tulisan dan juga tokoh yang ditulis minim kontroversi. Semoga ini menginspirasi kabupaten kota yang ada di Jawa Tengah untuk mengkaji tokoh yang nantinya dapat diusulkan menjadi pahlawan nasional,” harap Tsabit.
Sayembara ini terselenggara atas prakarsa jurusan sejarah Unnes dan didukung oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah SMA Provinsi Jawa Tengah. (Heni P)



