
Derapguru.com – Semarang, Rabu, 22 Oktober 2025 _
“Dari delapan menjadi tiga.”
Kalimat sederhana itu memancing riuh tepuk tangan di ruang Auditorium UPGIS Semarang. Dalam forum serius bertajuk FGD RUU Sisdiknas, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LLM., Ph.D., memecah kebekuan dengan kabar segar: Standar Nasional Pendidikan (SNP) akan disederhanakan menjadi tiga standar utama.
Bukan sekadar efisiensi dokumen, tapi reposisi cara berpikir tentang mutu pendidikan.
1. Mengapa Delapan Terlalu Banyak?
Selama dua dekade, sistem pendidikan Indonesia diatur lewat delapan standar nasional—mulai dari isi, proses, penilaian, hingga sarana prasarana. Secara ideal, lengkap. Tapi dalam praktiknya, tumpang tindih. Sekolah justru tenggelam dalam administrasi, bukan pembelajaran.
Prof. Atip menyoroti bahwa regulasi “super lengkap” justru menciptakan ketidaklincahan dalam beradaptasi.
“Setiap aturan dibuat berdasarkan fakta saat lahirnya. Dua puluh tahun kemudian, fakta berubah, tapi regulasinya tetap,” ujarnya di hadapan ratusan guru dan dosen.
Revisi RUU Sisdiknas 2025 mencoba menata ulang arsitektur mutu pendidikan agar lebih implementatif. Alih-alih delapan bidang yang berat, hanya tiga pilar fundamental yang disiapkan:
Standar capaian pembelajaran,
Standar pembelajaran,
Standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Ketiganya dianggap lebih fungsional—langsung menempel pada aktivitas inti pendidikan: belajar, mengajar, dan menilai.
2. Asesmen Nasional dan TKA: Dari Evaluasi ke Diagnosis Sistem
Satu hal yang menarik, Prof. Atip menegaskan bahwa evaluasi pendidikan nasional tidak lagi menilai individu, tetapi sistem.
Di sinilah posisi Asesmen Nasional (AN) dan Tes Kompetensi Akademik (TKA) menjadi sentral.
AN memotret kualitas pembelajaran di satuan pendidikan. Sementara TKA, yang digelar serentak untuk jenjang SMA pada November 2025, menjadi mekanisme diagnosis mutu sistem di level makro.
“Evaluasi belajar dilakukan oleh guru dan satuan pendidikan. Tapi evaluasi sistem dilakukan oleh pusat dan pemerintah daerah,” jelasnya.
Data dari Wamen menunjukkan, per Oktober 2025, 85% SMA di Indonesia sudah mendaftar TKA, dengan target partisipasi penuh pada tahun depan. Angka itu menjadi indikator semangat baru: guru tidak lagi sendirian menanggung beban evaluasi.
3. Dari Pemeriksaan ke Perbaikan
Penyederhanaan standar juga menandai perubahan paradigma dari “pengawasan” menjadi “perbaikan”.
Sebelumnya, standar digunakan sebagai alat ukur kepatuhan. Sekarang, orientasinya adalah perbaikan berkelanjutan.
Dalam rancangan baru, evaluasi nasional dibagi menjadi tiga tingkatan:
Evaluasi hasil belajar (oleh guru dan sekolah),
Evaluasi sistem pendidikan (oleh pemerintah pusat dan daerah),
Evaluasi capaian standar nasional pendidikan (oleh lembaga independen).
Kombinasi ini diharapkan bisa menumbuhkan budaya refleksi, bukan sekadar laporan angka. “Kalau dulu evaluasi jadi momen cemas, sekarang harus jadi momen belajar,” ujar salah satu peserta dari PGRI Kabupaten Semarang saat sesi diskusi.
4. Antara Ideal dan Lapangan
Tentu saja, tidak semua guru menyambut dengan euforia. Di lapangan, masih banyak satuan pendidikan yang khawatir akan transisi kurikulum, integrasi data AN–TKA, dan kesiapan teknis.
Namun, bagi sebagian besar peserta FGD, sinyal perubahan ini terasa menenangkan: negara mulai berbicara soal mutu dengan bahasa yang bisa dipahami guru.
“Dulu standar banyak tapi maknanya kabur. Sekarang tiga tapi tegas: apa yang harus dicapai, bagaimana mencapainya, dan siapa yang bertanggung jawab,” komentar Dr. Muhdi, Ketua PGRI Jawa Tengah, saat menutup sesi diskusi.
5. Jalan Menuju Evaluasi yang Membebaskan
Reformasi SNP dan integrasi TKA bukan sekadar pembaruan birokratis. Ia adalah upaya mengembalikan esensi pendidikan—mendidik manusia, bukan mengelola formulir.
Tahun 2025 bisa jadi momentum bersejarah: ketika guru, kepala sekolah, dan pembuat kebijakan duduk di meja yang sama, memaknai ulang apa arti “standar nasional”.
Bukan lagi tentang kelengkapan dokumen, tapi tentang keberlanjutan mutu.

Dan jika transisi ini berhasil, tiga standar baru itu bisa menjadi simbol:
bahwa kesederhanaan—bila tepat sasaran—lebih kuat daripada kompleksitas yang rumit. (Sapt/Wis)




