
Nur Hidayat
PADAHAL, madrasah memiliki potensi besar untuk mengembangkan literasi bahasa, daya pikir kritis, serta kompetensi global siswa jika pendekatan pembelajaran bilingual diterapkan secara tepat.
Hal inilah yang menjadi fokus dalam program pengabdian kepada masyarakat di MA Darut Taqwa Semarang, ketika model Bilingual Dialogic Teaching diperkenalkan sebagai strategi untuk mendorong interaksi bermakna, keberanian berkomunikasi, dan penguatan literasi lintas bahasa.
Selama ini, tantangan utama di MA Darut Taqwa adalah rendahnya praktik komunikasi bilingual di kelas dan dominannya metode ceramah yang kurang membuka ruang dialog.
Selain itu, guru cenderung menggunakan bahasa Inggris hanya pada level istilah, bukan dalam konteks komunikasi alami. Situasi ini membuat siswa merasa canggung menggunakan dua bahasa sekaligus, terutama saat berdiskusi atau mengemukakan pendapat dalam pelajaran berbasis teks dan budaya Islam.
Melalui program pendampingan yang berlangsung selama enam bulan, tim dari Universitas PGRI Semarang memperkenalkan pendekatan Bilingual Dialogic Teaching, sebuah model yang menekankan penggunaan dua bahasa (Indonesia-Inggris) dalam percakapan kelas secara alami, bertahap, dan kontekstual. Guru dilatih untuk menghadirkan pertanyaan terbuka, memancing diskusi reflektif, dan memberikan umpan balik dalam dua bahasa tanpa memaksakan struktur yang kaku.
Pendekatan ini dirancang sesuai konteks madrasah, sehingga integrasi nilai keislaman dan budaya santri tetap menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran.
Yang membuat program ini berbeda adalah penyusunan modul dialogis bilingual yang membantu guru memfasilitasi percakapan kelas melalui teks-teks islami, cerita rakyat, fenomena sosial, hingga isu-isu moral. Modul ini tidak hanya menyediakan contoh pertanyaan dialogis, tetapi juga skenario bilingual yang memandu guru dalam mengembangkan diskusi. Siswa diajak menafsirkan teks, mengkritisi peristiwa, berdialog dengan teman, hingga mempresentasikan gagasan dengan kombinasi bahasa Indonesia dan Inggris secara proporsional.
Hasil evaluasi menunjukkan perubahan yang signifikan. Siswa menjadi lebih aktif bertanya, lebih berani menyampaikan pendapat dalam dua bahasa, serta lebih terbiasa menghubungkan konsep bahasa dengan nilai sosial dan keagamaan. Guru melaporkan bahwa kelas menjadi lebih hidup, dan siswa menunjukkan peningkatan kemampuan literasi, terutama dalam memahami makna wacana, bukan sekadar struktur bahasa. Beberapa siswa bahkan mulai mengembangkan jurnal refleksi bilingual sebagai bagian dari tugas literasi.
Tentu, implementasi metode baru ini tidak tanpa tantangan. Guru membutuhkan waktu untuk menyesuaikan pola interaksi, dan beberapa siswa masih merasa malu menggunakan bahasa Inggris. Namun, dengan pendampingan intensif dan penggunaan contoh yang relevan dengan kehidupan santri, hambatan tersebut perlahan teratasi. Kolaborasi antara guru Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan PAI menjadi salah satu dampak positif yang memperkuat integrasi antar mata pelajaran.
Pengalaman di MA Darut Taqwa membuktikan bahwa pembelajaran bilingual tidak harus sekadar tentang grammar atau hafalan kosakata. Dengan pendekatan dialogis, kelas berubah menjadi ruang aman untuk bertanya, mengkritisi, berdiskusi, dan membangun makna secara kolektif. Madrasah pun dapat menjadi wadah yang tidak hanya menumbuhkan kecerdasan spiritual, tetapi juga kompetensi global yang relevan dengan tuntutan abad 21. Inovasi seperti ini perlu dikembangkan lebih luas agar madrasah semakin berdaya dalam menghadapi perubahan pendidikan berbasis literasi dan komunikasi global.
Penulis
Dr Nur Hidayat MHum adalah dosen Universitas PGRI Semarang yang fokus pada kajian sastra, budaya, dan linguistik terapan.




