
Dalam kesempatan diskusi dengan sesama teman guru mencuat topik menarik terkait dengan profesi guru. Ada teman guru yang menjalani profesinya dengan penuh kegembiraan, antusiasmenya tinggi, dan pantang mengeluh. Bahkan tunjangan profesi guru yang sudah diterima, selalu dimanfaatkan untuk pengembangan profesinya seperti studi lanjut, menulis artikel di media, membikin modul untuk muridnya, mengikuti ajang lomba guru berprestasi dan beberapa penunjang profesi lainnya. Ketulusan dalam menjalankan profesinya tersebut tentunya dapat menginspirasi agar guru lainnya juga melakukan tindakan serupa yang berorientasi pada pengembangan kompetensi kepribadian. Dalam dinamika era saat ini, banyak faktor yang membuat seorang tertarik menjadi guru.Ada yang menjadikan guru sebagai profesi, namun banyak juga yang menjadi guru karena panggilan nuraninya. Ingin secara totalitas membagikan segenap pengetahuan yang dimiliki kepada peserta didik. Kiranya masih relevan ajaran spirit keteladanan yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara dalam pijakan etis yang sangat populer, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangunkarsa, tut wuri handayani di tengah dinamika kehidupan dewasa ini. Bagi para pendidik dan para pemimpin, kandungan filosofis ajaran Ki Hadjar Dewantara tersebut meinsyaratkan, jika tampil ke depan, seyogyanya memberikan teladan yang baik. Ketika berdiri di tengah, perlu menciptakan ide atau gagasan maupun prakarsa yang baik. Sedangkan ketika posisinya di belakang, pendidik hendaknya juga memberikan dorongan dan arahanagar peserta didik terus melaju ke depan dalam meraih cita-citanya. Upaya pemerintah memajukan pendidikan nasional tentunya diimplemetensikan dalam bingkai mencerdaskan kehidupan bangsa secara holistik. Pendidikan yang berkualitas akan berimbas pada progresifitas kualitas sumber daya manusia sebagai faktor yang sangat prinsip. Dalam konteks ini, proses pendidikan tidak hanya sebatas pembelajaran di ruang-ruang kelas, namun juga perlu melibatkan secara proaktif semua pemangku kepentingan, mulai dari lingkup keluarga, masyarakat, hingga dunia usaha maupun dunia industri (Muhadjir Effendi, 2019). Semangat perjuangan Hari Guru Nasional ditetapkan pada 25 November 1945, bersamaan dengan berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), tidak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Organisasi PGRI lahir dari semangat perjuangan para pendidik yang ingin memperjuangkan nasib guru, meningkatkan mutu pendidikan, serta mempertahankan kemerdekaan bangsa melalui dunia pendidikan. Sebelum terbentuknya PGRI, telah ada berbagai organisasi guru di masa penjajahan Belanda, namun semuanya terpecah-pecah berdasarkan agama, daerah, dan golongan. Setelah kemerdekaan, seluruh organisasi guru tersebut bersepakat untuk melebur menjadi satu wadah perjuangan, yaitu PGRI. Sejak saat itu, tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional sekaligus HUT PGRI. Sebagai bentuk penghormatan terhadap peran historis PGRI dan jasa seluruh pendidik, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 78 Tahun 1994 menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November hendaknya perlu dimaknai secara subtansial yang tidak hanya sekadar seremonial, namun lebih menegaskan untuk kembali atas tugas mulia yang diemban oleh Guru yaitu tugas mencerdaskan, membentuk karakter, dan menjaga masa depan Indonesia.Tema peringatan Hari Guru Nasional tahun ini adalah Guru Hebat, Indonesia Kuat. Tema ini adalah sebuah pernyataan yang dapat dimaknai secara tegas, bahwa Indonesia akan menjadi negara kuat dengan diimbangi adanya guru hebat. Adapun indikator guru hebat tersebut adalah mengajar dengan hati dengan tidak hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila.Indikator selanjutnya adaptif yaitu mampu merangkul teknologi, namun tetap menjunjung tinggi kearifan lokal. Selain itu guru perlu terus tergerak untuk berinovasi danmenjadikan kelas sebagai ruang yang penuh inspirasi bagi semua murid dan minim diskriminasi (Kemendikdasmen, 2025).Untuk merealisasikan hal tersebut, kiranya diperlukan modal utama bagi seorang guru. Modal utama menjadi guru pada dasarnya tak lain adalah dalam dirinya tumbuh rasa bangga dan tidak minder apabila dikomparasikan dengan profesi lainnya. Namun perlu disadari kebanggan tersebut tidak hanya sekadar euforia, namun perlu diimplementasikan dengan aksi nyata baik dalam pola pikir maupun pola tindakannya. Tentunya guru sebagai pendidik perlu meyadari dan selalu membuka diri terhadap perubahan-perubahan tersebut agar dengan mudah dapat menyesuikan diri dengan dinamika zaman yang berubah begitu cepat. Dengan membuka diri untuk terus berkembang, guru akan menjadi orang yang menguasai kompetensi dalam bidangnya. Implikasi kompetensi dapat dimaknai sebagai gambaran yang perlu diimplementasikan seorang guru dalam menjalankan pekerjaannya, baik berupa aktivitas, perilaku maupun resultansi yang dapat ditunjukkan dalam proses pembelajaran yang kesehariannya dilakukan. Dalam menghadapi gelombang disrupsi abad 21 yang ditandai terjadinya pergeseran di berbagai bidang pendidikan, guru perlu segera berbenah melakukan transformasi. Para guru perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang begitu cepat. Salah satu yang penting dalam mendidik tak lain adalah pembiasaan berpikir kritis dalam proses pembelajaran.Aktualisasi berpikir kritis merupakan tindakan nyata dalam melakukan kinerjanya.Sebagai misal murid diberi pendampingan dalam membandingkan dan membedakan suatu objek, menentukan sumber-sumber yang kredibel dan terpercaya, membuat kesimpulan dari analisis-analisis yang pernah dibuat, dan strategi pembelajaran menantang lainnya. Dengan mengedepankan pola berpikir kritis, peserta didik akan tumbuh menjadi generasi unggul yang adaptif, komunikatif, kolaboratif kreatif, inovatif, serta mampu memecahkan masalah. Dengan mengaktualisasikan pola berpikir kritis yang terus menjadi pembiasaan, akhirnya akan mengarah pada pola pikir yang terus berkembang dengan antusiasme untuk selalu ingin mengetahui segala sesuatu yang dipelajari sampai tingkat kedalamannya. Muridmurid saat ini memang perlu benar-benar dipersiapkan menjadi pembelajar sejati untuk terus tumbuh dan mampu memecahkan masalah. Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada murid baik di sekolah maupan luar sekolah. Pola pikir dan pola tindakannya dapat menjadi parameter kehidupan dan menjadi sumber keteladanan. Cermin pengabdian bukan dilakukan semata-mata dengan gramatikal puitis, tetapi perlu diaplikasikan dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Nilai humanioraDalam menjalankan profesinya, kiranya guru tidak hanya sekadar mengtransformasikan pengetahuan yang dimiliki, namun yang lebih subtansial tak lain adalah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan atau humaniora kepada murid. Jiwa-jiwa muda yang sedang tumbuh ini perlu didorong dan didampingi dalam berpikir secara jeli dan komprehensif dengan belajar menganalisis, memecahkan masalah, berpikir menatap masa depan dengan segala simpul-simpul yang menyertai. Isu-isu lingkungan di sekitaranya perlu menjadi perhatian utama karena dapat menjadi pemantik berpikir kritis yang mengarah pada aspek-aspek nilai humaniora yang sagat dibutuhkan untuk bekal masa depannya. Pintu masuk agar murid dapat merambah pada nilai-nilai humaniora tak lain, guru perlu melakukan refleksi dalam proses pembelajarnnya baik di kelas maupun luar kelas. Refleksi dapat dipahami sebagai proses yang mengajak peserta didik untuk mengendapkan makna manusiawi tentang materi yang dipelajari dan kegunaannya bagi sesama. Dalam proses refleksi ini menuntut kapabilitas guru untuk menguasai mata pelajaran, lebih dari sekadar pengetahuan materi sesuai disiplin ilmunya. Di dalamnya dapat memantik daya ingat, pemahaman, imajinasi, dan intuisi yang digunakan untuk menangkap arti dan nilai-nilai yang dipelajari sampai gradasi kedalamannya (St. Kartono, 2009).Apabila ditelisik lebih mendalam, saat ini, masih banyak dijumpai para guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam melaksanakan tugas mulianya sebagai guru. Seperti memberikan akuntabilitas dalam penerimaan Tunjangan Profesi Guru (TPG) dengan melakukan inovasi-inovasi pembelajaran, mengikuti ajang guru prestasi, melaporkan rutin penerimaan TPG kepada pemerintah dengan segala capaian prestasinya. Juga rekanrekan guru di daerah 3T, atau di daerah pedalaman, perlu diapresiasi dan dihargai akan ketulusan pada dedikasinya.Kiranya aksi nyata dan dedikasi guru tersebut perlu diapresiasi. Aksi nyata bukan hanya piawai dalam menguasai teknologi informasi atau berbagai macam media pembelajaran, namun yang paling substansial adalah memberikan bekal nilai-nilai kehidupan yang hakiki pada murid dan dirinya dapat menjadi sumber keteladanan.Mendidik dengan hati dan mengabdi tanpa henti perlu ditanamkan dan digelorakan sebagai gerakan bersama agar Indonesia kuat dengan guru hebat dapat direalisasikan secara kongkret. Selamat Hari Guru Nasional dan HUT PGRI ke-80 tahun 2025.
Penulis: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.Guru Seni BudayaSMK Wiyasa MagelangAlumnus ISI Yogyakarta dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta




