
SELURUH Amarta meradang. Kejayaan mereka sebagai negeri yang “baldatun tayyibatun warabbun ghofur” alias “gemah ripah loh jinawi” bakal terancam sirna. Ini terjadi karena secara tiba-tiba ‘spirit’ pembawa berkah, Dewi Sri dan Batara Sadana (simbol kesejahteraan), pergi meninggalkan Amarta.
Dan situasi makin memanas ketika tiba-tiba terdengar kabar, Semar Badranaya hendak membangun Bale Pura Kencana. Sontak para Pandawa geger. Sri Krisna meminta supaya Pandawa bertindak. Mereka harus menghukum sang pamomong yang telah melampaui batas. Tiada maaf bagi perilaku-perilaku subversif.
Yudistira yang mencoba menenangkan justru terkena tuduhan ‘tidak peka’ dengan situasi. Krisna meminta Pandawa harus menyingkirkan Semar dari Amarta. Yudistira akhirnya memerintahkan Arjuna untuk berangkat menemui Semar. Arjuna juga murka atas keberanian Semar Mbangun Bale Pura Kencana.

Sesampainya di kediaman Semar, Arjuna langsung menghujat sang pamomongnya itu. Dia mengumpat dan mengatakan bahwa Semar sebagai sang pamong tak tahu diri. Dia diibaratkan seperti jelata yang ingin nggayuh langit. Sebagai puncak kekesalan, Arjuna sampai meludahi Semar.
Terpancing atas tindakan Arjuna. Semar naik pitam dan balik menghujat Arjuna. Semar mengatakan sebagai seorang pemimpin, tabiat Arjuna sangatlah buruk. Mestinya sebagai seorang pemimpin dirinya tidak mudah untuk terpancing hasut. Tidak mudah untuk menyalahkan orang lain sebelum menyelidiki perkara yang disangkakan.
“Ketahuilah Ngger, Mbangun Bale Pura Kencana itu bukanlah berarti membangun kerajaan tandingan untuk menggantikan Amarta. Bukan, Ngger. Mbangun Bale Pura Kencana itu adalah upaya kami sebagai rakyat, untuk turut nyengkuyung, untuk turut serta, dalam membangun Amarta Emas. Amarta yang gemah ripah loh jinawi,” kata Semar.

Terkejutlah Arjuna. Ternyata apa yang dihembuskan dan disangkakan pada Semar hanyalah fitnah murahan. Ternyata Semar bersama para rakyat tidak ada niatan untuk memberontak, melainkan ingin bersama-sama mendorong terciptanya Amarta Emas.
Dengan penuh rasa bersalah, Arjuna menyembah dan meminta maaf pada Semar. Semar mengajukan syarat, baru akan memaafkan Arjuna bila dia sanggup mengembalikan Sri-Sadana ke Negeri Amarta. Sebab hanya dengan berkah dari Sri-Sadana (kesejahteraan) saja Bale Pura Kencana bisa diwujudkan.
“Dan ketahuilah, bahwa biang dari perginya Sri-Sadana, dalang bagi kekacauan di Amarta, tiada lain adalah ulah Krisna palsu,” ungkap Semar membabar masalah.

Krisna yang sekarang berada di Amarta, lanjut Semar, sebenarnya adalah Durga yang sedang menyamar. Krisna yang asli, pembisik yang bijaksana itu, saat ini sedang melakukan tapa wening di kedalaman hutan Amarta.
Demikianlah kisah lakon “Mbangun Bale Pura Kencana” yang dipentaskan dalang UPGRIS, Ki Dr Bambang Sulanjari MA. Lakon yang dipentaskan dalam acara penutupan Pekan Pahlawan FPIPSKR tersebut digelar di Seminar Hall 6fl Menara UPGRIS Kampus Gajah Semarang, Senin 24 November 2025.
Dekan FPIPSKR, Dr Agus Sutono SFil MPhil, dalam sambutannya menyampaikan bahwa pementasan wayang pakeliran padat yang dilangsungkan ini menjadi acara penutup kegiatan Pekan Pahlawan FPIPSKR UPGRIS. Dalam kesempatan tersebut dia juga menekankan bahwa semangat kepahlawanan harus terus hidup dan diaktualisasikan dalam berbagai bentuk.

“Pekan Pahlawan X ini adalah bukti adanya nilai-nilai altruisme sosial. Dalam dunia pendidikan, altruisme tidak sekadar menjadi nilai moral yang diajarkan (taught), tetapi menjadi kompetensi yang diterapkan (caught dan sought) melalui pengalaman nyata,” urai Agus Sutono.
Hadir dalam kegiatan tersebut Rektor UPGRIS Dr Hj Sri Suciati MHum, Wakil Rektor II Prof Dr Endah Rita SD, Wakil Rektor III Dr Sapto Budoyo SH MH, Ketua dan Sekretaris Lembaga, Dekan di lingkungan Universitas PGRI Semarang, Ketua Senat Universitas, segenap dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa di lingkungan FPIPSKR. (za)




