
Penghapusan UN yang diumumkan pada 2019 dan efektif ditiadakan sejak 2021 karena pandemi, kemudian digantikan dengan Asesmen Nasional (AN). Penghapusan Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) membawa dampak yang sangat signifikan, baik positif maupun negatif.
Kini, di era pemerintahan Presiden Prabowo, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendidikan Dasar Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2025 Tentang Tes Kemampuan Akademik. Dan Keputusan Menteri Pendidikan Dasar Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 95/M/2025 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Tes Kemampuan Akademik.
Untuk mengupas tentang Assesmen Nasional, yang kini menjadi Tes Kemampuan Akademik, derapguru.com berbicang dengan Dr Jerry Puspitasari, MPd, guru SMAN 1 Jepon, Blora.
Dampak Penghapusan UN dan USBN
Sebelum berbicara tentang TKA, Jerry mengungkapkan adanya dampak positif dan negative Penghapusan Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Diungkapkan, dampak Positif yang terjadi antara lain berkurangnya beban psikologis siswa. Beban psikologis mengakibatkan stres pada siswa, guru, dan orang tua yang terkait dengan UN. UN dianggap sebagai penentu kelulusan, menurun drastis. Fokus pada proses mendidik bukan hanya mengajar (transfer knowledge), guru didorong untuk lebih fokus pada proses mendidik, bukan hanya sekadar “mengajar untuk lulus ujian” (teaching to the test). Otonomi guru, guru memiliki kemerdekaan lebih besar dalam melakukan asesmen formatif dan sumatif di kelas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa, hal ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang berlaku nasional.
Sedangkan dampak negatifnya (tantangan) adalah kekhawatiran penurunan standar. Munculnya kekhawatiran bahwa tanpa adanya evaluasi nasional yang standar, mutu pendidikan antar wilayah bisa semakin timpang. Kesulitan pemetaan mutu tanpa UN, pemerintah dan pemangku kepentingan mengalami kesulitan karena tidak memiliki alat ukur yang seragam untuk membandingkan kualitas pendidikan antar sekolah atau daerah secara nasional. Motivasi belajar bagi sebagian siswa menurun, UN menjadi pendorong eksternal untuk belajar giat. Hilangnya UN dikhawatirkan menurunkan motivasi belajar mereka.
Data hasil AN
Guru Sosiologi yang juga sebagai Mentor Diklat Dan Mentoring Provinsi Jawa Tengah ini kemudian mengungkapkan Data hasil Asesmen Nasional (AN), yang dirangkum dalam Rapor Pendidikan. Dikatakan, Data Rapor Pendidikan 2024 (berdasarkan AN 2023) menunjukkan literasi (SMA/Sederajat), sekitar 34,8% siswa masih berada di level “Perlu Intervensi Khusus” dan “Dasar”. Hanya 24,1% yang sudah di level “Mahir” atau “Cakap”. Numerasi (SMA/Sederajat), kesenjangannya lebih besar. Sekitar 55,6% siswa masih di level “Perlu Intervensi Khusus” dan “Dasar”. Hanya 7,6% yang sudah “Mahir”. Dampak: Data ini menunjukkan bahwa penghapusan UN (yang fokus pada hafalan) dan penggantiannya dengan AN (yang fokus pada nalar) berhasil mengungkap masalah kompetensi dasar yang sebenarnya di sekolah.
Selanjutnya diungkapkan adanya Data Standar Internasional (Pasca-UN), dengan melihat data PISA (Programme for International Student Assessment) 2022 (yang dirilis pada Desember 2023). “Ini adalah asesmen internasional besar pertama di era pasca-UN dan pasca-pandemi”, ujar Jerry yang juga sebagai Narasumber Nasional ini menegaskan. Dijelaskan data ini menunjukkan, dalam bidang Matematika, Skor Indonesia turun 13 poin (dari 379 di 2018 menjadi 366). Kemudian Sains, skor Indonesia turun 11 poin (dari 396 di 2018 menjadi 385). Dan Literasi Membaca, skor Indonesia naik 12 poin (dari 371 di 2018 menjadi 383). Dampak, data PISA ini menunjukkan bahwa meski ada kemajuan di literasi, tantangan besar masih ada di numerasi dan sains. “Ini memvalidasi kekhawatiran bahwa mutu pendidikan (terutama nalar Matematika/Sains) masih perlu perbaikan besar meski UN telah dihapus”, ujar Jerry yang dikenal sebagai guru nyentrik ini menjelaskan.

TKA, Tidak Wajib
Diminta pendapat, apakah ada perubahan pola belajar mengajar terkait dengan TKA 2025 ini, guru yang juga berpengalaman sebagai Pengembang Kurikulum Merdeka Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (2023) ini menjelaskan, bahwa Pola belajar mengajar saat ini didorong oleh dua hal yaitu Kurikulum Merdeka dan Asesmen Nasional (AN). “TKA tahun 2025 adalah kebijakan baru yang melengkapi ekosistem ini”, ujarnya. Dijelaskan, kebijakan TKA yang sedang berlangsung November 2025 ini Sukarela atau “Tidak Wajib” bagi siswa Kelas 12, yang pelaksanaannya dimulai 4 – 7 November 2025.
Dikatakan, tujuannya adalah sebagai validator (pengkonfirmasi) nilai rapor untuk jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2026 dan sebagai umpan balik pembelajaran. Materi yang diujikan antara lain Literasi (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), Numerasi, dan Penalaran. Data ini digunakan sebagai pendorong Perubahan (Rapor Pendidikan), sekolah yang memiliki Rapor Pendidikan dengan capaian “Merah” atau “Kuning” pada indikator Literasi, Numerasi, atau Iklim Belajar, diwajibkan melakukan Perencanaan Berbasis Data (PBD). Ditambahkan, PBD ini akan digunakan sebagai rencana anggaran penggunaan dana BOS dan Dana BOS Kinerja (Bantuan Operasional Sekolah) secara spesifik dialokasikan untuk sekolah-sekolah yang perlu meningkatkan hasil AN-nya.
“Ini adalah data konkret bahwa anggaran diarahkan untuk memaksa perubahan pola ajar dari hafalan ke penalaran (sesuai tuntutan AN dan TKA)”, ujar Jerry yang juga Penyusun standar pendidik KEMDIKBUDRISTEK (2024) ini menjelaskan.
“Data Perbedaan Soal untuk Soal UN dulu sekitar 80% soal berada di level Kognitif 1 (Pengetahuan/Pemahaman) dan Kognitif 2 (Aplikasi). Soal AN/TKA mayoritas soal berada di level Kognitif 2 (Aplikasi) dan Kognitif 3 (Penalaran/HOTS). Soal mewajibkan penggunaan stimulus (grafik, tabel, infografis, teks sastra) untuk dijawab, bukan sekadar ingatan rumus”, jelas Jerry menambahkan.
TKA Bukan Untuk Kelulusan
Ditanya tentang Target Guru Terhadap Siswa dalam TKA, Pengurus MGMP Mata Pelajaran Sosiologi Provinsi Jawa Tengah ini menyatakan, bahwa target guru dalam TKA tidak bisa diukur dengan angka, tetapi bisa dilihat dari tujuan kebijakan dan pernyataan pemangku kepentingan. “Tujuan TKA secara eksplisit bukan untuk kelulusan”, ujar Jerry mengutip rilis pers Kemdikdasmen. Dijelaskan, bahwa tujuan TKA adalah memberi umpan balik (feedback) kepada siswa dan sekolah mengenai ketercapaian capaian pembelajaran, dan menyediakan data tambahan yang lebih adil dan transparan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dalam proses SNBP. Jadi, berdasarkan data ini, kata Jerry, target guru adalah; pertama, memastikan siswanya memahami model soal HOTS dan yang kedua menggunakan hasil TKA sebagai feedback untuk perbaikan pembelajaran di sisa semester.
Dikatakan pula, data bedasarkan pernyataan dari organisasi profesi misalnya PGRI atau P2G dan pengamat pendidikan di berbagai media selama masa TKA ini (November 2025) menekankan hal serupa. “Guru didorong untuk tidak melakukan drill soal TKA, melainkan fokus pada penguatan nalar kritis di semua mata pelajaran. Ini menunjukkan target yang diharapkan adalah proses, bukan skor”, ujarnya menjelaskan.
Pemerataan Infrastruktur
Berdasarkan pada data kendala di lapangan dan data kesenjangan, maka untuk perbaikan TKA tahun depan, terkait data kesenjangan infrastruktur usulannya adalah pemerataan infrastruktur didukung oleh data kesenjangan digital. Dikatakan, data BPS (Badan Pusat Statistik) 2024 Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), menunjukkan adanya disparitas kepemilikan komputer dan akses internet. Persentase rumah tangga yang memiliki/menguasai komputer di provinsi Jawa Tengah adalah 20,23%, sangat jomplang dibandingkan di Provinsi Papua (misal, 4,8%) atau NTT (misal, 5,1%). “Data ini membuktikan bahwa pelaksanaan TKA Berbasis Komputer (TKA-BK) belum adil secara infrastruktur, sehingga usulan untuk memastikan kesiapan alat sangat relevan”, jelas calon Kepala Sekolah ini menegaskan.
Jerry selanjutnya mengungkapkan adanya beberapa kendala dalam pelaksanaan TKA. minggu ini, diantaranya temuan FSGI yang mencatat 5 kendala utama TKA 2025 di hari pertama; Pertama, gangguan sinkronisasi server di beberapa daerah; Kedua, kesiapan proktor sekolah yang minim karena Juknis (Petunjuk Teknis) baru disosialisasikan H-7; Ketiga, kebingungan siswa karena sosialisasi TKA yang mepet. “Data lapangan ini adalah dasar konkret untuk usulan agar dilakukan “Sosialisasi yang Masif” dan “Pelatihan Teknis Guru” di tahun depan”, ujar Jerry menjelaskan usulannya. (pur)




