SEMARANG, derapguru.com — Hati-hati bila mengajak kencan seseorang. Ajakan kencan yang berulang-ulang dan tidak dikehendaki orang yang diajak bisa masuk dalam wilayah pelecehan seksual. Alih-alih mendapatkan teman kencan, justru tuntutan hukumlah yang didapatkan.
Hal tersebut diuraikan Psikolog UPGRIS yang juga Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UPGRIS, Dr Arri Handayani SPsi MSi, saat memberi Pelatihan Pemberdayaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di Sekolah PGRI Se-Jawa Tengah yang digelar PGRI Jateng di Seminar Hall 6ft Menara Kampus IV UPGRIS, Sabtu 1 Februari 2023.
“Bila ada orang mengajak kencan berulang-ulang, dan ajakan kencan tersebut tidak diinginkan orang yang diajak, itu juga bagian dari kekerasan seksual. Jadi masalah kekerasan seksual sebenarnya sangat luas cakupannya,” tutur Arri Handayani.
Arri menambahkan, seringkali saat terjadi pelecehan seksual, yang disalahkan adalah pihak perempuan. Perempuan dianggap sebagai pemicu terjadinya pelecehan karena pakaiannya yang terlalu terbuka.
“Cara perempuan berpakaian memang membawa pengaruh pada terjadinya tindak kekerasan seksual. Tapi sebenarnya, bukan pada pakaiannya, tapi pada pikiran kaum laki-lakilah yang menjadi penyebabnya,” ungkap Arri Handayani.
Psikolog dan Konselor UPGRIS, Dr Chr Argo Widiharto SPsi MPsi menambahkan kekerasan tidak hanya muncul dalam bentuk fisik dan verbal. Kekerasan juga mencakup pada wilayah aturan-aturan yang dibuat pemimpin yang berpotensi menimbulkan kekerasan atau deskriminasi.
“Inilah kenapa kepala sekolah tidak boleh menjadi ketua TPPK (Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, red). Karena kepala sekolah juga menjadi subjek yang harus diawasi oleh satgas,” urai Argo.
Argo menambahkan saat ini sekitar 70 persen sekolah di Indonesia sudah membentuk satgas TPPK. Akan tetapi, yang benar-benar memahami tugas dan tujuan pembentukan TPPK kisarannya hanya 40 persen saja.
“Selebihnya sing penting ono. Sekadar formalitas semata. Sekolah mendirikan tim ini karena keberadaannya menjadi instrumen yang turut diinilai dalam akreditasi,” tandas Argo.
Selama ini, lanjut Argo, dalam beberapa penelitian yang dilakukan olehnya, memang sangat sulit untuk menggali kasus-kasus di sekolah. Pasalnya, sekolah-sekolah masih menganggap kasus kekerasan, bullying, dan diskriminasi sebagai aib yang memalukan.
Sebagian besar sekolah malu apabila dalam instansinya tiba-tiba ditemukan kasus-kasus yang terkait hal tersebut. Terlebih lagi bila kasusnya adalah kekerasan seksual, bukan hanya sekolahnya saja yang malu, korbannya pun malu untuk melapor.
“Memang dilematis. Di satu sisi, dibongkarnya kasus-kasus tersebut memang akan membuat sekolah menjadi tempat yang aman dan sehat. Tapi di sisi lain, dibongkarnya kasus juga akan berpengaruh pula ada citra instansi. Tapi sampai kapan tiga dosa besar pendidikan ini akan hilang kalau tidak kita mulai sekarang” Ungkap Argo.
Sementara itu, Ahli Hukum Pidana UPGRIS yang juga bagian Tim LKBH PGRI Jateng, Dr Wahyu Widodo SH MHum, menyampaikan bahwa kasus-kasus hukum yang terkait tiga dosa besar pendidikan seperti fenomena gunung es di lautan. Yang terlihat hanya bagian puncaknya saja, tapi kasus yang tidak terlihat justu sangat besar.
“Saya selalu menghimbau, hindari hal-hal yang berpotensi menjadi masalah hukum. Hal-hal yang terkait kekerasan, meskipun sepele, hindari. Misalnya, ada anak nakal, niatnya menjewer untuk mendisiplinkan. Tapi bila anaknya melapor pada orang tua dan orang tua tidak terima, membuat laporan polisi, ya kena,” urai Wahyu Widodo.
Hukum, lanjut Wahyu Widodo, tidak bisa menjangkau wilayah niat. Yang dijangkau hukum adalah fakta-fakta riil di lapangan, bahwa ada anak yang dijewer. Jangankan menjewer secara fisik, berkata kasar saja termasuk tindak kekerasan pada anak.
“Maka guru harus benar-benar paham mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dalam mendidik,” tandas Wahyu Widodo.
Lebih lanjut Wahyu Widodo menambahkan, apabila ada guru yang terkena masalah hukum saat melakukan tugas profesinya, jangan segan-segan untuk melapor atau meminta perlindungan hukum dari LKBH PGRI Jateng. Apapun masalah guru, baik bersalah ataupun tidak, LKBH PGRI Jateng akan memberikan pendampingan hukum secara gratis.
“Bukan hanya yang benar yang kami bela. Guru atau tenaga kependidikan yang positif bersalah pun akan kami berikan perlindungan hukum. Bukan untuk membela yang salah, tapi untuk memastikan hukuman yang didapatkan tidak melebihi apa yang seharusnya diterima. Pendampingan hukum seperti ini, bila menggunakan pengacara luar, biayanya bisa puluhan sampai ratusan juta. Tapi kalau menggunakan LKBH PGRI Jateng, semua pendampingan hukum akan diberikan secara gratis. Inilah salah satu manfaat menjadi anggota PGRI,” tandas Wahyu Widodo.
Selain membekal peserta dengan materi-materi penting tentang TPPK, paserta juga diajak serta membuat program di bawah bimbingan langsung Konselor UPGRIS, Dr Dini Rakhmawati MPd, dan rekan-rekan.
Pelatihan ini dibuka langsung oleh Ketua PGRI Jateng, Dr H Muhdi SH MHum, dan dihadiri beberapa pemimpin PGRI Jateng lainnya, seperti Wakil Sekretaris PGRI Jateng Dr Saptono Nugrohadi MPd, Kabiro Kerjasama dan Pengembangan Usaha PGRI Jateng H Imron Rosyadi SH MPd, dan Kabiro Pembinan Mental Kerohanian dan Karakter Bangsa Sunan Baedowi SPdI MSi. (za)