![](https://derapguru.com/wp-content/uploads/2024/12/IMG-20241224-WA0036-1024x577.jpg)
BANJARNEGARA, derapguru.com – Wakil Ketua Komite 1 DPD RI Dr H Muhdi SH MHum yang juga merupakan Ketua PGRI Provinsi Jawa Tengah menyerap berbagai aspirasi dari Kepala Sekolah Penggerak (KS SP) se-Jawa Tengah dalam sebuah audiensi di Banjarnegara, Selasa 24 Desember 2024. Aspirasi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan penting dalam menentukan kebijakan pendidikan di tingkat pusat.
Muhdi menyatakan bahwa isu yang diangkat para KS SP bukan hal asing baginya.
“Aspirasi ini adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan bersama. Inti masalahnya adalah ketidakadilan bagi Kepala Sekolah Penggerak,” ujarnya.
Menurutnya, ketidakadilan tersebut terlihat dari perbedaan kebijakan antara Program Sekolah Penggerak (PSP) dan Program Guru Penggerak (PGP).
“Tidak adil jika persyaratan menjadi Kepala Sekolah atau Pengawas Sekolah hanya didasarkan pada sertifikat Guru Penggerak, sementara Sekolah Penggerak memiliki jenjang yang lebih kompleks,” jelas Muhdi.
Sekretaris PGRI Kabupaten Banyumas, Kasiyanto MPd, mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Muhdi yang telah bersedia mendengarkan langsung aspirasi teman-teman Kepala Sekolah Sekolah Penggerak.
“Kami sangat terharu karena Pak Dr Muhdi mau menemui kami dan menyerap aspirasi ini untuk disampaikan ke Kementerian,” katanya.
Dalam audiensi tersebut, para KS SP menyampaikan berbagai kendala dalam pelaksanaan program. Aminuddin, KS SP dari Banyumas, menjelaskan bahwa program yang diluncurkan sejak 2021 tersebut membutuhkan revitalisasi tujuan.
“Ada perlakuan yang tidak setara antara program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Ini harus diperbaiki,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa program Guru Penggerak sudah memasuki angkatan ke-12, sementara Sekolah Penggerak baru sampai angkatan ketiga dan bahkan menjadi yang terakhir.
“Ini menimbulkan kesan bahwa Sekolah Penggerak adalah program yang gagal,” imbuh Aminuddin.
Senada dengan Aminuddin, Isa Bowo Yunianto dari Banjarnegara menyebutkan bahwa program Guru Penggerak memiliki banyak privilege.
“Kenapa program ini terlihat begitu eksklusif? Bahkan rekognisi hanya diberikan untuk Kepala Sekolah, tidak untuk guru yang turut mensukseskan program,” tanyanya.
Hal serupa juga disampaikan Emi Endrawati, seorang guru penggerak. Ia berharap regulasi terkait impasing guru di sekolah swasta lebih diperhatikan.
“Kami butuh kemudahan dalam proses impasing, terutama bagi guru di sekolah swasta,” ujarnya.
Aji Hermanto, perwakilan dari Purbalingga, mengungkapkan keprihatinannya atas nasib KS SP yang dianggap tidak memiliki kejelasan arah.
“Kami membawa tanggung jawab besar untuk sekolah, namun tidak ada keberlanjutan yang jelas untuk KS SP ini,” katanya.
Ia mengusulkan percepatan transformasi untuk KS SP agar program dapat berjalan lebih efektif.
“Kami sudah terkunci dengan status KS SP. Regulasi seleksi Pengawas Sekolah harus memprioritaskan kami yang sudah berpengalaman,” tambahnya.
Budi Hartono dari Temanggung juga menyoroti lamanya program Sekolah Penggerak.
“Tiga tahun terlalu lama untuk sebuah program piloting. Kami butuh regulasi yang lebih fleksibel,” jelasnya.
Ia juga mengkritisi minimnya kesempatan KS SP untuk mengikuti kegiatan di Balai Besar Guru Penggerak (BBGP).
“Kami jarang diundang ke BBGP, sementara Guru Penggerak mendapatkan banyak kesempatan,” ungkap Budi.
Muhdi merespons semua aspirasi ini dengan berjanji akan membawa masalah ini ke tingkat kementerian.
“Saya akan menyampaikan surat resmi ke Menteri Pendidikan dan menggunakan jalur khusus untuk memperjuangkan ini,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya mengkaji kebijakan sebelum diterapkan.
“PGRI selalu meminta adanya kajian akademik sebelum kebijakan diberlakukan. Kami tidak ingin kebijakan hanya menjadi eksperimen yang merugikan,” katanya.
Muhdi juga menyoroti perlunya penguatan prinsip keadilan dalam pendidikan.
“Kepala Sekolah Penggerak harus mendapatkan penghargaan setara dengan Guru Penggerak. Kita harus menghapus kesan adanya kasta dalam pendidikan,” tandasnya.
Para KS SP berharap agar aspirasi ini dapat ditindaklanjuti demi keberlanjutan program yang lebih baik.
“Kami ingin Sekolah Penggerak menjadi program yang berkontribusi nyata bagi peningkatan kualitas pendidikan,” pungkas Isa Bowo.
Audiensi tersebut menjadi langkah awal dalam memperjuangkan aspirasi para Kepala Sekolah Penggerak se-Jawa Tengah untuk menciptakan kebijakan pendidikan yang lebih adil dan inklusif. (Yusep/Wis/Za)