Oleh Sunarto, M.Pd
Sehabis pelantikan Khalifah Harun Al-Rasyid meminta sahabatnya yang terkenal cerdik yaitu Abu Nawas untuk memberikan khutbah Jumat di masjid. “Sahabatku Abu Nawas, tolong besok jumat kamulah yang berkhutbah di masjid. Usahakan kamu bisa berkhutbah dengan baik, siapa tahu kamu cocok untuk menjadi menteri agama dikabinetku besok,” kata Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas yang mendengar titah sang Khalifah sangat terkejut. Selama ini memang Abu Nawas tidak pernah sama sekali khutbah jumat apalagi untuk menyampaikan kutipan ayat-ayat suci di dalam Al-Quran tentu sangat menakutkan jika salah. Kalau diminta untuk debat, atau bercerita ngalor-ngidul di warung kopi itu adalah kehaliannya selama ini. Namun jika harus menyampaikan khutbah jumat dengan pakem dan aturan bicara yang telah ditetapkan syarat dan rukunnya tentu Abu Nawas sangat kesulitan.
Dalam termenungnya mendadak sang khalifah berkata, “Wahai rakyatku, besok hari jumat adalah pertama kali sahabatku Abu Nawas akan berkhutbah jumat, maka hadirlah lebih awal dan cermati isi khutbah sahabatku ini”. Bagai disambar petir mendengar titah Khalifah yang langsung mengumumkan kepada masyarakat luas itu. Mendengar kabar itu semua orang juga menjadi penasaran apa yang akan dikatakan Abu Nawas saat Khutbah nanti, yang mana mereka juga tahu bahwa Abu Nawas sama sekali tidak bisa berkhutbah. Mereka bertanya:”Wahai Abu Nawas, kira-kira tema apa yang akan kau sampaikan pada saat khutbah jumat nanti?”. Dengan lirih Abu Nawas pun menjawab tidak tahu. Mendengar jawaban itu justru warga semakin penasaran, apa gerangan isi khutbah Abu Nawas nanti.
Tibalah saatnya hari jumat. Semua warga datang lebih awal dengan harapan untuk dapat “menyaksikan” apa yang akan dilakukan Abu Nawas saat Khutbah nanti. Sampai mendekati waktu sholat jumat si Abu Nawas tidak kunjung datang. Warga mulai cemas, jangan-jangan Abu Nawas tidak datang. Demikian pula sang Khalifah juga cemas, jangan-jangan Abu Nawas melarikan diri. Syukurlah jelang adzan dikumandangkan Abu Nawas yang mereka nanti-nantikan akhirnya datang juga. Sebelum adzan dikumandangkan sang Khalifah sempat bertanya, “Abu Nawas apakah kamu sudah belajar dan tema apa yang akan kau sampaikan pada khutbah nanti?”. “Tidak tahu tuan”, jawab Abu Nawas apa adanya. Harus Al-Rasyid seketika panik, jangan-jangan nanti isi khutbahnya tidak karuan dan memalukan.
Setelah adzan dikumandangkan, tibalah saatnya Abu Nawas berkhutbah. Abu Nawas naik ke mimbar dan memulai khutbahnya dengan bertanya kepada jamaah, “Apakah kalian tahu apa yang akan saya sampaikan hari ini?”
Jamaah menjawab, “Tidak, kami tidak tahu.”
Abu Nawas kemudian berkata, “Jika kalian tidak tahu, maka tidak ada gunanya saya berkhutbah banyak. Jika kita ingin menjadi umat yang kuat, kita tidak boleh menjadi umat yang bodoh. Kita harus giat belajar tentang apa saja, baik ilmu agama, teknologi, politik, sosial dan apa saja yang kita butuhkan”. Begitu Abu Nawas semakin memotivasi jamaah untuk belajar dan terus belajar supaya menjadi bangsa yang kuat dan disegani bangsa lain. Khalifah yang mendengarkan khutbah dengan seksama, dan tidak menyangka isi khutbah Abunawas demikian pas sesuai dengan kondisi umatnya saat itu. Hal ini justru membuat Harun Al-Rasyid ingin mendengar Abu Nawas untuk memberikan khutbah lagi minggu depan, sekalian memberikan tantangan lain untuk Abu Nawas. Tak lupa setelah selesai sholat jumat Khalifah membisikkan sesuatu kepada pimpinan jamaah, jika minggu depan si Abu Nawas bertanya tentang hal yang sama.
Pada Jumat berikutnya, Abu Nawas kembali naik ke mimbar dan bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang akan saya sampaikan hari ini?” Kali ini, jamaah yang sudah diberitahu sebelumnya menjawab, “Ya, kami tahu.”
Abu Nawas terperangah mendapati jawaban jamaah yang tidak terduga, lalu Ia berkata, “Alhamdulillah, beginilah yang diharapkan tentang umat islam. Kejayaan islam di masa lalu juga dikarenakan banyaknya ilmuwan muslim yang menjadi panutan. Di bidang kedokteran, astronomi, matematika, filosofi dan sebagainya. Kita saat ini harus mengembangkan kehebatan para pendahulu kita agar negara kita bisa tetap berjaya sebagaimana zaman dahulu”. Begitulah Abunawas memberikan khutbah singkat namun sangat berisi. Khalifah Harun Al-Rasyid pun sangat terpana mendengarnya. Dalam hati berkata Abu Nawas memang benar-benar cerdik. Kemudian muncul niat sang khalifah untuk mengerjai Abunawas sekali lagi. Tak lupa beliau membisikkan kepada pimpinan jamaah lagi untuk jawaban yang berbeda jika Abu Nawas bertanya yang sama lagi.
Pada Jumat ketiga jamaah yang hadir semakin banyak bahkan sampai di luar gerbang masjid karena ingin melihat bagaimana Abu Nawas menjawab tantangan Khalifah yang telah disiapkan. Tiba saatnya Abu Nawas naik ke mimbar dan bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang akan saya sampaikan hari ini?”. Jamaah yang sudah diberitahu, sebagian menjawab “Ya” dan sebagian lagi menjawab “Tidak.” Abu Nawas dengan cerdik berkata, “Baiklah, bagi yang tahu, tolong sampaikan kepada yang tidak tahu. Kita tidak ada yang sempurna. Bisa jadi di antara kita ada yang pandai tentang ilmu kedokteran, namun tidak pintar dalam hal pendidikan. Bisa saja ada diantara kita pandai dalam ilmu matematika, namun kurang dalam hal politik, dan masih banyak lagi kelebihan dan kekurangan kita masing-masing. Tugas kita adalah belajar kepada orang yang lebih pintar daripada kita, sedangkan yang sudah pintar tentang suatu ilmu wajib hukumnya untuk mengajari dan berbagi ilmu kepada saudara-saudara kita yang ingin belajar. Semoga kita menjadi bangsa yang kuat”. Begitulah Abu Nawas menyampaikan khutbah jumat dengan singkat dan sangat baik. Khalifah akhirnya tersenyum puas mendengar kecerdikan Abu Nawas.
Habis sholat jumat khalifah Harun Al-Rasyid mengumumkan bahwa menteri pendidikan pada kekhalifahannya akan dijabat oleh ABU NAWAS. Semua jamaah yang hadir kaget, karena mengira Abu Nawas akan diangkat menjadi Menteri Agama karena sudah berhasil menjawab tantangan untuk berkhutbah jumat.
“Saudara-saudara tahukah mengapa saya memilih Abu Nawas untuk menjadi Menteri Pendidikan dan bukan menteri Agama? Untuk menjadi Menteri Pendidikan sebenarnya tidak dibutuhkan orang yang sangat ahli dalam suatu bidang ilmu. Karena sebenarnya ilmu kita sangat terbatas dan masing-masing mempunyai kekurangan. Di atas langit masih ada langit. Namun lebih dari pada itu menjadi Menteri Pendidikan yang baik dibutuhkan orang yang bisa mengerti tentang kemampuan rakyat yang dipimpinnya.
Karena negara kita luas dan kemampuan warga negara sangat beraneka ragam, ada yang masih bodoh, sedang-sedang saja, pun ada yang sudah ahli maka diperlukan tindakan-tindakan yang tepat sebagai mana yang telah kita dengarkan bersama pada khutbah Abu Nawas pada jumat pertama, kedua dan ketiga hari ini. Abu Nawas bisa memotivasi dengan sangat baik untuk kondisi masyarakat yang masih bodoh. Abu Nawas juga bisa memberdayakan seluruh warganya yang sudah pintar untuk membantu mencerdaskan warga lain yang kurang pintar.
Dengan pola semacam itu selain akan terjadi kekompakan dan semangat warga negara untuk maju, juga akan terjadi penghematan anggaran negara yang luar biasa. Kementerian pendidikan tidak lagi ada proyek-proyek yang tidak perlu hanya untuk mensukseskan program dari “seorang menteri”. Program-program kementerian pendidikan akan mendorong seluruh potensi warga negaranya untuk maju bersama sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. Orang-orang pintar yang sudah ada dan tersebar di seluruh pelosok tanah air akan membantu negara untuk mencerdaskan warga negara di wilayahnya masing-masing dengan caranya masing-masing. Tidak perlu ada lagi metodologi pembelajaran yang diseragamkan secara nasional, karena masing-masing daerah memiliki best practises dan budaya yang berbeda. Yang perlu kita seragamkan adalah kualitas pendidikan yang sama”, begitu kata Khalifah Harun Al-Rasyid.
Penulis adalah Sekretaris Umum PGRI Kabupaten Banjarnegara