Oleh Purwanto
Membicarakan nasib guru honorer seolah tak ada habisnya, dari honor yang kecil dan status yang tidak jelas, sering dibebani banyak pekerjaan oleh guru senior, tidak ada jaminan perlindungan apapun, rentan terkena PHK, dan berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Meski memiliki kewajiban dan tanggung jawab sama dengan guru ASN dan guru-guru yang lain, pemberian hak dan perlakuan pemerintah terhadap guru honorer sangat jauh berbeda. Ironisnya, dengan kondisi yang serba tidak enak ini masih ada pihak yang tega menyakitinya. Kebijakan “Cleansing” 107 guru honorer di Jakarta pada tahun ajaran 2024/2025 adalah potret buram perlakuan buruk yang melukai guru honorer, meski kemudian ada solusi dengan status kontrak kerja individu (KKI). Di daerah lain tentu banyak pegawai berstatus honorer yang memiliki problem dan kesulitan masing-masing.
Disky, seorang guru honorer di sebuah SMP Negeri di Jakarta adalah salah satu guru yang terkena “cleansing” saat itu. Untuk merubah nasib, Disky telah berulang kali mendaftar sebagai guru P3K tetapi selalu gagal. Merasa tidak mendapatkan keadilan dan keberadaanya sebagai guru honorer makin terancam, Disky menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada Sidang Pendahuluan yang digelar di MK, Selasa (17/9/2024), Disky selaku Pemohon melalui kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan Pasal 66 UU ASN bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Pokok Permohonan
Dalil-dalil yang diajukan; Pertama, norma Pasal 66 UU 20/2023 menyatakan Pegawai non-ASN atau nama lainnya wajib diselesaikan penataannya paling lambat Desember 2024 dan sejak undang-undang ini mulai berlaku Instansi Pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN atau nama lainnya selain Pegawai ASN dan PPPK; Kedua, terdapat 2 (dua) poin penting pada norma Pasal 66 UU 20/2023 yaitu: pertama, adanya kewajiban pemerintah untuk menyelesaikan penataan pegawai non-ASN atau nama lainnya, paling lambat bulan Desember 2024.
Kedua, adanya larangan kepada instansi pemerintah mengangkat pegawai non-ASN atau nama lainnya selain pegawai ASN dan PPPK terhitung sejak UU 20/2023 mulai berlaku in casu 31 Oktober 2023. Sehingga, secara normatif terhitung sejak tanggal 31 Oktober 2023, keberadaan tenaga honorer yang diangkat di setiap instansi pemerintah yang berstatus bukan pegawai ASN atau PPPK, tidak sesuai dengan ketentuan norma Pasal 66 UU 20/2023; Ketiga, semangat dari kata “penataan” yang dimaksud dalam Pasal 66 UU 20/2023 beserta pada bagian Penjelasan, adalah untuk memberikan kesempatan kepada seluruh tenaga honorer yang sudah bekerja sebelum UU 20/2023 diundangkan untuk dapat ditata in casu diangkat menjadi pegawai ASN; Keempat, ketentuan norma Pasal 66 UU 20/2023 apabila diberlakukan pada bulan Januari 2025 akan menimbulkan ketidakadilan bagi para tenaga honorer yang sudah bekerja sebelum UU 20/2023 diundangkan, karena akan mengalami pembersihan (cleansing) apabila tidak mengikuti seleksi penerimaan yang diselenggarakan oleh pemerintah sebab tidak hanya mengalami pembersihan (cleansing) namun juga tidak lagi dapat bekerja sebagai tenaga honorer karena dalam ketentuan norma a quo, melarang instansi pemerintah in casu pusat dan daerah untuk mengangkat pegawai non-ASN atau nama lainnya selain pegawai ASN dan PPPK.
Berdasarkan uraian dalil permohonan tersebut di atas, Pemohon dalam petitumnya memohon agar Mahkamah menyatakan, “Pasal 66 UU 20/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, ditunda keberlakuannya sampai seluruh tenaga honorer yang telah bekerja sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara diundangkan, diangkat menjadi pegawai ASN in casu Sebagai Pegawai Negeri Sipil atau PPPK”.
Untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon juga telah mengajukan bukti-bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-11 dan telah disahkan dalam persidangan Mahkamah sebelumnya.
Putusan MK
Setelah melalui proses persidangan dan pertimbangan hukum oleh para hakim yang menyidangkan perkara tersebut, MK kemudian menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya sebagaimana tertuang dalam putusan nomor 119/PUU-XXII/2024, Rabu 16 Oktober 2024.
Dijelaskan, pemohon tidak perlu khawatir bahwa hak konstitusionalnya akan terlanggar dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Sebab pada faktanya UU ASN yang terkait dengan hak pegawai honorer tetap ada dan tetap mengakomodir hak para tenaga honorer.
MK berpendapat, terhitung sejak UU ASN berlaku mulai 31 Oktober 2023 telah memberikan kepastian hukum yang adil dan perlindungan hukum yang tidak bersifat diskriminatif. Sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945, bukan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.
Oleh karena itu, maka dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan Amar Putusan Nomor 119/PUU-XXII/2024.
Pengangkatan Guru Honorer
Meski langkah hukum pemohon dilakukan secara individual, tetapi banyak guru-guru dan tenaga honorer yang lain sesungguhnya juga memiliki kecemasan dan kekhawatiran sama jika pada tanggal 31 Desember 2024 pemerintah belum mengangkatnya menjadi ASN, karena adanya ketentuan UU nomor 20 tahun 2023, khususnya pasal 66 yang dipahami melarang keberadaan pegawai Non ASN.
Sejalan dengan upaya penyelesaian guru honorer tahun ini pemerintah membuka lowongan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan formasi guru ASN PPPK sebanyak 419.146 orang.
Namun, apakah jumlah ini sudah cukup menampung seluruh guru honorer yang ada? Bagaimana dengan adanya guru-guru ASN yang pensiun yang jumlahnya 70 ribuan setiap tahun, dan juga tenaga honorer lain yang belum terakomodir sebagai ASN?
Apakah frasa “penataan” dalam pasal 66 bisa dimaknai dengan menyerahkan pengangkatan guru dan pegawai “outsourching”, KKI, atau sebutan lain oleh pihak ketiga, sebelum pemerintah mampu memenuhi kebutuhan guru dan pegawai ASN sesuai ketentuan pasal 66 UU nomor 20 tahun 2023? Meski hal itu (mungkin) bisa dilakukan, Pengangkatan guru dengan status outsourching, KKI dan sejenisnya oleh pihak ketiga, bukan solusi ideal untuk memenuhi kebutuhan guru dan upaya memajukan pendidikan.
Semoga presiden Prabowo Subianto dan wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mampu menyelesaikan persoalan guru dan tenaga kependidikan honorer sebagai bagian perwujudan janji membangun SDM bermutu melaui pendidikan bermutu dan guru-guru yang bermutu. Pendidikan bermutu hanya bisa diwujudkan oleh guru-guru yang berkarakter, profesional, kompeten, sejahtera, kreatif, inovatif, dan terlindungi.
Penulis adalah Redaktur Majalah Derap Guru